Aku menatap almanak yang tergantung di dinding kamar, "November," batinku.
Aku mengalihkan pandangan pada jam dinding usang yang ada di atas pintu. Jarum jam itu menunjukkan pukul 22.00 WIB.
Teman-teman dalam kamar sudah menggelar tikar, satu persatu terlelap dalam mimpi indah. Ah ... benarkah mimpi indah?
Setiap malam kami hanya tidur beralaskan tikar dengan ukuran cukup satu orang saja dan bantal pun tumpukan baju. Di atasnya baju setengah kering tergantung. Sementara di pojok pintu, ada sisa makanan yang baunya bercampur aduk dengan keringat 20 santriwati.
Dengan kondisi seperti ini, kami tidak pernah bercerita kalau semalam mimpi indah, yang ada hanya keluhan.
"Badanku sakit semua." Atau, "Aih, siapa yang semalam memukul perutku?"
Tidur berdekatan, seringkali tangan atau kaki berkeliaran tanpa sadar mengenai sebelahnya.
Ketika ada mata kantuk yang melek dan dia teriak "Pukul tiga." Suasana pun menjadi riuh, berhamburan mengambil perlengkapan mandi.
Aku, tidak pernah mandi pagi, karena antrian panjang akan menghabiskan waktu subuh. Berangkat sekolah pun aku tak pernah mandi, lagi-lagi kamar mandi yang berukuran 2x2 m itu akan dipenuhi antrian.
Aku lebih memilih mandi pukul 14.00 ketika pulang sekolah dan bersiap-siap ke masjid untuk meneruskan pelajaran pesantren.