Omongan antar tetangga dalam sehari-hari kita sebut dengan bergosip. Gosip sendiri artinya membicarakan orang yang tidak hadir.
Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science menemukan bahwa orang biasa menghabiskan sekitar 52 menit per hari untuk bergosip.
Mark Leary, PhD, seorang profesor psikologi dan ilmu saraf di Duke University menjelaskan kepada Health, "Bergosip adalah naluri manusia yang fundamental karena hidup kita berakar dalam dalam kelompok. Kami tidak hanya hidup dalam kelompok, tetapi kami juga bergantung pada orang-orang dalam kelompok kami untuk bertahan hidup."
Omongan tetangga terkadang sesuatu hal yang negatif. Namun, tidak menutup kemungkinan omongan itu mengandung unsur positif. Tergantung bagaimana kita mengolahnya. Namun, yang sering terjadi, kita malah menggorengnya hingga gosong.
Ada kisah yang saya perhatikan beberapa hari ini selama tinggal di rumah adik.
"Ayah kenapa, teman-teman menutup pintu ketika Lia lewat rumahnya?" tanya ponakan yang baru berusia 10 tahun.
"Iya, benar, ketika Ibu lewat mau kerja, tetangga yang ujung langsung masuk dan menutup pintu," ujar Ibunya Lia.
Saya dan adik sebagai ayah dari Lia, merasa kasihan. Anak kecil tanpa dosa harus jadi korban. Dia dijauhi teman-temannya.
Usut punya usut. Mereka sengaja menghindar dari keluarga adik Karena Ibu kami meninggal karena terpapar Covid-19.
Walaupun rumah berjauhan dengan Ibu. Keluarga adik menjalani tes rapid dan hasilnya negatif. Bahkan adik yang satu rumah pun hasil tes rapidnya negatif.
Mendapat perlakuan dikucilkan, adik minta maaf dengan musibah yang menimpa Ibu. Sehingga membuat resah lingkungan.
Kasus seperti ini bukan saja dialami keluarga adik. Sebelumnya tetangga adik terpapar covid-19. Sebut saja namanya Pak Roni.
Semua orang membicarakan kasus Pak Roni hingga banyak warga yang menjauhi karena takut tertular. Pak Roni marah-marah di WhatApps grup lingkungannya. Terjadilah perang mulut.