Sudah tiga hari ini tidak ada pesan singkat dari sahabatku. Tiba-tiba ponselku berdering dan dari arah sana terdengar suara parau milik Hapy, "Desaku longsor dan suamiku belum ditemukan, Teh!"
Ponselku terjatuh bersaamaan hilangnya suara Hapy. Aku terperanjat lagi ketika mendengar berita di televisi daerah Cihanjuang, Sumedang terkena longsong, ada delapan korban meninggal. Segera aku menulis surat untuknya, sahabatku Hapy.
Dear Hapy,
Setelah dirimu telpon dan mengabarkan keadaan suamimu, ponselku terjatuh karena kaget. Terlebih ketika mendengar desamu terkena bencana. rasanya itu bencana bagiku juga, Hapy. Aku berharap kamu dan keluargamu baik-baik saja, walaupun memang keadaan tidak baik.
Bersabarlah, dan tetap mencari suamimu. Kamu ingat ketika kita di desa duapuluh tahun lalu, kamu sangat sabar mendengar bapakmu meninggal. Namun aku tahu kamu sangat terpukul saat itu. Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah, air matamu jatuh perlahan dan diammu menunjukkan kesedihan mendalam.
Kamu juga sabar mengurus adikmu dan ibumu setelah ditinggal bapakmu. Kamu selalu bilang, "Namaku Hapy, harus bahagia!"
Kebahagian yang kamu tunjukkan itu bentuk semangat menjalani hidup yang rumit. Kerumitan itu juga yang menyebabkan kita mulai merintis usaha kecil-kecilan. Kamu bilang kalau aku tidak membutuhkan usaha itu karena bapakku masih ada dan bekerja.
Ternyata ucapanmu salah, usaha itu sekarang menjadi andalanku. Aku belajar berjualan, sabar dan kerja keras darimu.
Ketika kita berjalan kaki keliling desa menawarkan jajanan buatan ibumu, kakiku letih. Kamu selalu menyemangatiku.
"Ayooo jalan lagi Ci, pohon beringin hampir dekat!"
Bawah pohon beringin depan SD itu tempat istirahat dan mangkal. Menjelang sore akan banyak anak TPA yang membeli cilok enak buatan ibumu.
Penggalan lagu Sheila On 7 cocok untuk kita saat itu.
Pegang pundakku jangan pernah lepaskan
Bila ku mulai lelah
Lelah dan tak bersinar
Remas sayapku jangan pernah Lepaskan
Bila ku ingin terbang
Terbang meninggalkanmu hu ho ho ho
Tak pernah kita pikirkan
Ujung perjalanan ini
Tak usah kita pikirkan
Ujung perjalanan ini ho ho ho ho
Kita tidak pernah berpikir masa depan bagaimana, bekerja, suami siapa. Tanpa disangka jodohmu seorang laki-laki saleh dari Sumedang. Sejak ibumu meninggal lima tahun lalu kamu tidak pernah pulang kampung. Adikmu juga dibawa suaminya ke Kalimantan.