Hai diary aku ingin bercerita tentang nyinyir dan nyindir. Beberapa hari kebelakang aku pernah mengalaminya. Nyinyir, siapa sih yang tidak pernah menerima nyinyiran di dunia maya atau dunia nyata? Tentu sebagai manusia yang bersosial pernah mengalaminya. Hanya levelnya berbeda-beda rasa, ada rasa pedas manis, asin gurih, original. Ups ... tetapi nyinyir itu sama gak ya dengan nyindir?
Berdasarkan penelitianku, kata nyinyir sering digunakan ketika memberi komentar pedas. Seseorang memposting sebuah karya, istilahnya pamer sesuatu di media sosial atau kehidupan sehari-hari. Sebagian orang akan like, bilang keren, mantap, selamat dan mendoakan. Kalau tidak suka netizen sering menggunakan kata nyinyir.
Aku pernah mendengar alasan seseorang menggugat cerai suaminya, "Karena sudah tidak cocok lagi." Masuk akal. Namun ada penjelasan yang tidak dapat dimengerti bahwa selama pernikahan suaminya sering nyinyir. Separah itukah nyinyir sehingga memutuskan ikatan cinta suami istri?
Sebagian kecil dari kita menganggap nyinyir itu menyindir, padahal bukan lho. Dalam KBBI nyinyir adalah, mengulang-ngulang perintah atau permintaan, ngenyeh, cerewet.
Jadi nyinyir itu bukan nyindir, julid, kritikan pedas. Ketika berhadapan dengan orang yang cerewet, atau nenek yang sering bicara boleh tuh kata nyinyir digunakan, "Nenek hari ini sangat nyinyir, sehingga aku bosan!"
Mengulang perintah atau cerewet itu hal biasa, jika kita menerimanya wajar-wajar saja. Seperti ketika kita waktu kecil yang sering dicereweti orang tua. Kecerewetan itu kita maknai sebagai bentuk kasih sayang. Coba deh kita maknai sama kepada orang yang memberi kritik dan saran, itu sebagai bentuk kasih sayang, mungkin dia tidak bisa menunjukkan perhatiannya dengan kata-kata cinta.
Kita juga terkadang membutuhkan kejujuran, orang jujur menilai diri kita, karya kita. Kejujuran itu memang menyakitkan. Contohnya ketika banyak orang orang menilai diri kita keren, sementara ada orang mengatakan kita jelek. Dekati dan tanyakan penuh kasih, ajaklah diskusi apa yang membuat dia menilai seperti itu. Aku yakin dia menilai jelek bukan karena benci, tetapi, dia sayang supaya kita tidak terjerumus dalam buian kata keren.
Kita tahu pujian akan membuat kita berdiam diri di tempat tanpa berkembang atau bisa jadi akan menjadikan kita manusia sombong, padahal apa yang kita lakukan kecil. Ingat kisah Firaun yang sombong karena rakyatnya sering memuji. Dengan pujian itu pula Firaun menjadikan dirinya Tuhan. Naudzubillah Min Dzalik.
Sekiranya omongan orang terlalu pedas seperti seblak super hot, abaikan saja. Aku sering mendengar kata-kata dalam bahasa Jawa; "Ora usah mikir omongane wong liyo. Wong liyo wae nek ngomong yo ora tau dipikir." (Tidak usah memikirkan perkataan orang lain. Orang lain saja kalau ngomong tidak pernah dipikir). Sepertinya kata-kata ini cocok untuk orang sepertiku yang baper.
Berbicara tentang baper, itu bab yang sedang kukelola dalam hati karena sebelum memutuskan menulis ada satu pertanyaan dari saudara, "Siap gitu jadi penulis? Penulis itu jangan baperan karena nanti akan ada orang yang nyindir, nyinyir, julid, memuji!"
Salam sehat sahabatku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H