Lihat ke Halaman Asli

Mengasuh Anak

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pahlawan masa lalu, berjuang melawan penjajah.Sekarang, berlomba-lomba mengisi kemerdekaan. Sedangkan tugas yang berat dan tak pernah berhenti adalah berjuang melawan hawa nafsu danmenahan emosi, untuk mendapatkan kebahagiaan abadi.

Ini adalah sedikit cerita seni mengasuh anak yang kadang ceria penuh canda tawa, Ada kalanya peristiwa-peristiwa lucu juga haru. Tak ketinggalan hal-hal menjengkelkan yang menguji kesabaran.

Waktu itu anakku baru berumur 2,5 tahun. Tak tahu masalahnya, ia menangis tanpa saya ketahui apa sebabnya, juga tidak aku mengerti apa yang ia minta, Sehingga saya kehabisan akal dalam menghentikan tangisnya. Kuambil ini, itu, tak ada yang betul. Kurayu dengan aneka mainan, atau minuman, juga tetap salah. Bahkan tangisnya semakin keras. Kuterus mencoba menduga apa yang ia minta, tak ada bedanya. Dari suara yang lembut, halus merayu sampai suara keras seraya menggertak juga sama saja. Maka terpancinglah emosiku. Dalam otak ingin aku memukul kepalanya, menjewer telinganya juga menjiwel pantatnya. Agar anakku sakit, takut, dan mau mengikuti kemauanku.

Untunglah hati kecilku melindunginya. Sehingga apa yang ada dalam otakku tidak saya ujudkan dalam tindakan. Dengan menekan emosi dan menahan amarah, saya bicara perlahan tapi mantap: “nek lagi pengin nangis, nangislah sing seru, mengko yen wis kesel matur. Ibu olehe paring pitulungan mengko yen kowe wis kesel” ( kalau memang sedang ingin menangis, silahkan menangis yang keras. Nanti kalau sudah capek, bilang. Karena ibu akan datang menolong kalau kamu sudah capek). Begitu pesanku, kemudian ku mencuci pakaian. Merasa tidak mendapat perhatian, ia melampiaskan kekesalannya dengan cara menendang pintu berulang-ulang. Disela-selatendangannya, ia mengaduh kesakitan. Sehingga tetangga sebelah mengira terjadi kekerasan dalam rumahku.

Berlarilah ibu-ibu tetangga sebelah melapor pada ibu mertuaku, agar segera menolong anakku.

Pintu dapur terbuka karena didorong dari luar. Kulihat ibu mertuaku tergopoh-gopoh bertanya.” Dikapakno anakke?” ( Diapakan anaknya?).Dengan tenang saya menjawab: “ Nggih manggo dipun pirsani Mbah”. (Ya silahkan itu dilihat Mbah).

Mbah putri itu mendekati anakku, dan menyaksikan bagaimana anakku menendang pintu dan mengaduh kesakitan untuk merebut perhatianku. Embah mencoba untuk menolong, tapi ternyata malah ikut menjadi sasaran tendangannya. Maka Embah itupun keluar sambil tertawa dan menjelaskan pada ibu –ibu yang menunggu di luar.

Tak berapa lama, disela-sela tangisnya anakku berkata: “Aku wis kesel…, akuarep meneng ….”( Aku sudah capek, aku akan berhenti menangis)Segera kuambil selendang. Kugendong dia tanpa berontak apalagi meronta.Dia sambut pelukan kasih sayangku dengan dekapan minta perlindungan. Kuberikan minum susu serta senandung lagu-lagu. Maka tertidurlah anakku. Sejak itu, anakku tak pernah lagi menangis atau mengamuk membingungkan aku.

Aku sangat bersyukur karena mampu menguasai diri, menahan emosi dan mengalahkan amarah tanpa kekerasan. Danaku mearasa menang tanpa melawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline