Lihat ke Halaman Asli

Sri Patmi

Bagian Dari Sebuah Kehidupan

Cerpen Sri Patmi: Wajah Waktu Kirana

Diperbarui: 12 Juli 2021   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kesendirian malamnya, ia masih tersedu menangisi nasib yang menimpa. Semerbak suara angin membawa wewangian bunga dari kuburan. Sudah lama memang jasadnya seakan dibiarkan hidup padahal sudah ingin mati. Dengan segala daya dan upayanya ia terperangah naik ke kursi roda. Kakinya yang kuat menopang badan harus dibantu dengan kursi yang dapat berjalan mengantarkan cita-citanya mencapai tujuan. Rana, seorang perempuan yang terlahir sempurna dengan segala ketulusannya menjaga perempuan yang paling berjasa didalam hidupnya. Sejak kepergian ayahnya, Rana menjadikan tulang punggungnya semakin kokoh untuk mengais rejeki disekitaran Stasiun. Ibu Rana masih terdiam tanpa kata di tempat tidur.

Rana membawa setumpuk koran pagi yang masih hangat dengan pemberitaan kasus korupsi merajalela dan COVID-19 yang sedang melanda dunia. Lalu lalang kendaraan roda dua yang menghampiri sejumput asa menuju tempat kerja. Sesekali kendaraan roda empat melintasi pangkalan Rana menjajakan koran. Satu per satu dagangannya laku terjual. Tersisa satu koran, dipangkuannya. Ia masih menunggu, barangkali koran itu akan singgah di rumah tuannya. Hingga terik matahari diatas kepala, koran itu masih belum menemukan pemiliknya. Gontai langkah roda menggesek aspal menuju tempat bibinya berjualan gorengan diseberang jalan menuju stasiun.

Wajan besar dengan kepulan asap membumbung tinggi di udara. Irisan tempe yang dibalut dengan tepung sudah siap untuk masuk dalam minyak yang telah panas. Sesaat kemudian wajah kedelai itu berubah menjadi hidangan makanan yang sering ditawarkan pada penumpang Kereta Commuter Line setelah jam istirahat tiba. Rana membantu bibinya menggoreng tahu, tempe, dan risol. Dengan suara lantangnya yang memecah kebisingan kota yang ramai, ia menawarkan gorengan yang siap disantap sebagai pengganjal perut yang murah meriah.

"Risolnya seribuan.. silakan kak!" Suaranya dengan penuh semangat.

            Dengan senyumnya yang manis dan hiasan lesung pipi, Rana memberikan sekantong gorengan kepada pembeli. Tak lupa pula ia mengucapkan terima kasih dan untaian kalimat doa memohon segala keberkahan untuk orang tersebut.

"Bi, gorengannya sudah hampir habis ya? Alhamdulillah..." Wajahnya sumringah

"Alhamdulillah, semua berkat upaya kamu. Terima kasih ya Rana" sambil mengusap rambut lurus dan panjang Rana.

"Sudah siang, mari kita pulang! Ibumu pasti sudah menunggumu" sambung bibi sembari menaruh bungkusan makanan kedalam plastik.

            Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di perkampungan belakang stasiun. Semenjak COVID-19 ini memang stasiun juga tidak terlihat begitu ramai, tetapi gorengan bibi dan koran Rana selalu habis terjual. Bibi mendorong kursi roda Rana dengan sangat hati-hati karena jalanan bergelombang, batu-batu kerikil banyak yang terlepas dari aspalnya. Meskipun terlihat diam tanpa gerakan di kursi roda, tangan kanannya terus memegangi tangan bibinya. Koran yang masih belum terjual masih berada di pangkuannya. Ia asyik membaca setiap kata dan memaknainya.

            Matanya kembali merayu untuk terus membaca untaian makna yang disampaikan. Untuk pertama kalinya, koran yang ia bawa belum laku terjual. Dari tatapan matanya, Rana tertarik dengan pemberitaan di koran edisi hari ini. Dari raut mukanya muncul kebimbangan.

"Andai aku membeli koran ini dari sebagian keuntungan penjualan koran, pasti nanti tabungan untuk operasi ibu berkurang. Sudahlah, sebaiknya aku segera menamatkan bacaan ini sebelum dikembalikan ke agen dan menyimpannya didalam ingatan". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline