Lihat ke Halaman Asli

Sri Patmi

Bagian Dari Sebuah Kehidupan

Artikel Sri Patmi: Kembali Belajar dari Fenomena Badai El Nino dan La Nina Dunia Pendidikan

Diperbarui: 3 Januari 2021   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Selama COVID-19 masih ada di belahan bumi ini, banyak sekali aktivitas yang terhenti. Semua orang dituntut untuk membatasi diri. Membatasi diri dalam berinteraksi dengan manusia lain secara langsung, membatasi diri untuk tidak berkerumun, membatasi diri untuk berhenti belajar dengan cara tatap muka. 

Data UNESCO (2020) melaporkan bahwa 91,3% atau sekitar 1,5 milyar siswa di dunia tidak bisa masuk sekolah seperti biasa akibat dampak Covid. Mereka harus belajar dari rumah melalui berbagai media yang ada. Mereka ini termasuk sekitar 60 juta siswa dan 4 juta guru di 565 ribu sekolah di Indonesia yang mengalami nasib yang sama. Hal ini dilakukan semata untuk menjaga kesehatan dan keselamatan manusia, agar populasinya tidak punah dimuka bumi ini. 

Covid-19 ini membawa badai el nino dan la nina dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Kondisi yang mengharuskan segala sesuatu dengan slogan "di rumah aja" pada akhirnya harus mengungkung sebagian niat para siswa untuk belajar. 

Liburan panjang, merasa bosan karena aktivitasnya hanya di rumah, bermain masih dibatasi. Apapun yang terjadi saat ini, mereka tetap harus kembali belajar dengan cara dan metode yang sudah dipersiapkan oleh stakeholders dunia pendidikan. 

Dengan tekanan psikologis berupa rasa malas, penat selama di rumah, siswa akan merasakan rasa yang ingin berpindah. Minimal merasakan kerinduan terhadap guru dan teman-teman sebayanya. Mereka akan terpicu untuk kembali belajar melalui media online dan tatap muka jika sudah mulai diperkenankan oleh pemerintah.  

Mengacu pada Surat Edaran Pemerintah No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dan Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19), sistem pembelajaran dilakukan dengan menggunakan perangkat personal computer (PC) yang terhubung dengan koneksi jaringan internet. Beberapa platform media yang sudah digunakan adalah whatsapp (WA), Zoom, Telegram dll. 

Dilema yang terjadi adalah kebutuhan kuota akan melonjak naik dibarengi dengan meningkatnya biaya komunikasi untuk belajar di rumah. Untuk keluarga yang berpenghasilan menengah kebawah tentu akan merasakan keberatan dengan kebijakan ini. 

Selain itu, letak geografis akan mempengaruhi kondisi koneksi sinyal dari pemberi pesan kepada penerima pesan. Fenomena lain disusul dengan kualitas materi pembelajaran yang akan diterima. Jika dulu mereka belajar selama 6 hingga 8 jam dalamm sehari durasi waktu 5 hari. Sekarang, hanya hitungan menit melalui media online. Survey dari Kemendikbud (2020) juga mengungkap bahwa lebih 76% guru mengaku lemah dari sisi penguasaan teknologi digital untuk pembelajaran.

Jika di beberapa tempat sudah mulai tatap muka, hanya diperkenankan 2 sampai 3 jam saja tatap muka, sisanya materi PR yang akan dikerjakan di rumah. Upaya pembelajaran di rumah, dianggap belum tentu maksimal, meski rumah adalah tempat ternyaman di masa pandemic ini. Dalam kondisi seperti ini, pembelajaran melalui media daring tidak dapat terelakkan.

Pada akhirnya akan muncul pertanyaan seberapa besar tingkat efektivitas dan efisiensi pembelajaran para siswa di Indonesia ini? Seberapa besar daya serap dan kualitas materi yang diterima selama pembelajaran ini?

Dunia pendidikan diterpa badai la nina yang begitu kuat. Penurunan dan kemerosotan ini perlu dirasakan dengan sensitivitas yang tinggi. Alih-alih surutnya semangat sekaligus pembentukan karakter para siswa didik. Dekandensi moral akan melanda dimana-mana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline