Lihat ke Halaman Asli

Sri Patmi

Bagian Dari Sebuah Kehidupan

Cerpen Sri Patmi: Pahlawan Tak Dikenal

Diperbarui: 7 Desember 2020   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penat dan jenuh, itulah yang kurasakan saat ini. Berangkat kerja pagi, pulang malam. Itulah rutinitas yang harus ku jalani setiap hari. Akhirnya kuputuskan pekan ini untuk berlibur dan mencari suasana liburan yang baru di Museum Kota Tua Jakarta.

Rasanya tak sabar menanti hari esok. Bangun pagi, bergegas aku mandi dan bersiap -- siap untuk menikmati liburan hari ini. "Semangat .. semangat ... semangat ..." Itulahkata -- kata yang ku ucapkan untuk menyemangati diriku sendiri.

Setibanya di stasiun kota, aku berjalan perlahan sambil memandangi bangunan tua disekitar jalan. Bangunan itu nampak berdiri kokoh. Aku membeli tiket masuk, disepanjang antrean tersebut, ku pandangi orang -- orang disekitar ku. Hati kecilku berkata "mengapa disepanjang antrean ini, hanya orang dewasa dan orang lanjut usia yang mendatangi tempat ini?".

Aku mengelilingi bangunan kota tua tersebut dan sesekali membidik foto benda -- benda bersejarah. Mulai dari foto -- foto perjuangan para pahlawan Indonesia sampai dengan penjara bawah tanah yang diperuntukkan bagi pejuang bangsa Indonesia.

Penjara itu sangat sempit dan memiliki bau tak sedap. Tak dapat kubayangkan jika aku hidup dikala itu. Betapa berat perjuangan para pahlawan Indonesia untuk mengibarkan sang saka merah putih dan mendapatkan satu kata yang mutlak yaitu "MERDEKA".Penjara itu merupakan saksi bisu perjuangan para pahlawan.

Sejenak aku beristirahat dibawah pohon rindang sambil ku review foto -- foto yang berhasil kubidik. Kupandangi orang -- orang disekitarku, tak lama kemudian pandanganku terpusat pada salah seorang kakek tua yang sedang duduk disudut bangunan kota tua sambil menangis.

Ku hampiri kakek itu, " Kek, bolehkah saya duduk disamping kakek?".

Kakek itu berusaha menghapus air matanya. "iya nak, silahkan duduk" jawab kakek itu dengan penuh kelembutan.

"Kakek, mengapa kakek menangis? Maaf kalo saya lancang, siapa tahu saya bisa membantu kakek".

Kakek itu tertunduk dan menangis. "Kek, maaf saya tidak bermaksud membangkitkan kesedihan kakek".

"Tidak nak, kakek tidak bersedih dan menangis karena pertanyaanmu tadi" sambil memegang pundakku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline