Lihat ke Halaman Asli

Balapan Dalam Perut Berakibat Biru di Ubun-ubun

Diperbarui: 16 Mei 2016   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hai perkenalkan aku Sri Nurliyanti perempuan yang memiliki tanda lahir biru di ubun-ubun. Seperti yang sudah pernah aku ceritakan, aku adalah anak ke 2 dari 2 bersaudara. Aku lahir di Balikpapan 7 September 1995 dan kakaku 24 Desember 1990. Ini cerita antara aku dan kakaku. Kakaku dan aku adalah kutub utara dan kutub selatan. Meski tidak jarang ada saja yang bilang kalau kami ini terlihat mirip. Memang aku dan kakaku hanya terpaut 5 tahun, tinggi kami nyaris sama. Entah aku yang tumbuh terlalu besar atau kakaku yang memang terlalu kecil. Kakaku memang terkenal susah makan sehingga memiliki tubuh yang lebih kecil dibandingkan aku. Kalau dilihat dari struktur wajah dan tubuh, aku akan cendrung terlihat seperti ayahku, tetapi dari perilaku lebih cenderung meniru ibuku. Berbeda dengan kakaku yang dilihat dari struktur wajah dan tubuhnya nyaris mirip ibuku tapi dari sikapnya dia adalah anak ayahku.

Kalau sedikit mengingat kejadian sebelum aku lahir, ibuku selalu bilang bahwa seharusnya yang lahir duluan itu aku, kenapa begitu? Alasannya bagiku aneh alias tidak masuk diakal, tapi ini hanyalah bahan bercandaan dikeluargaku. Jadi begini ceritanya.

Dulu ketika ibuku belum sadar bahwa dirinya hamil, ia sering merasakan seperti tertusuk-tusuk di bagian perut (tapi beda dengan mag) saat di periksakan ke dokter, ibuku ternyata dinyatakan mengandung. Selama kehamilan ibuku baik-baik saja, bahkan nyaris tidak menunjukan perubahan, kecuali ukuran perut yang semakin membesar seperti yang orang hamil pada umumnya. Menjelang kehamilan 9 bulan ibuku tiba-tiba jadi gemar memonton lomba balapan. Sampai akhirnya ibuku melahirkan, kakaku lahir dengan selamat. Selang 5 tahun kemudian ibuku kembali hamil, seperti kehamilan sebelumnya, ibuku masih baik-baik saja tanpa “sindrom ngidam”. Kejadian ibuku mau melahirkan aku cukup menjadi bahan pembicaraan dikalangan suster rumah sakit kala itu. ibuku yang merasakan sakit teramat hebat saat itu dibawa ke rumah saki bersalin sekitar jam 4 pagi. Sesampainya di rumah sakit seketika sakit perutnya reda. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan, ibuku pun akhinya dirujuk untuk tetap dirumah sakit. Ibuku yang merasa baik-baik saja merasa bosan bila harus berebah seharian, akhirnya ia memutuskan untuk merapikan kamarnya. Kala itu ibuku dirawat di satu ruangan berisi 4 pasien. Sampai-sampai seorang suster mengira ibuku adalah cleaning service yang sedang hamil. Masih tak kunjung merasakan sakit juga, ibuku memutuskan untuk berjalan-jalan di koridor rumah sakit, disitu salah satu suster melihat ibuku dan menawarkan untuk duduk di meja perawat.

Disana ibuku malah asik berbincang dan membantu perawat menyiapkan alat perawatan, mulai dari menggulung kasa, menggumpal kapas sampai membantu menyeterilkan alat. Suster rumah sakit dan dokterpun heran melihat ibuku yang tadi katanya kesakitan hebat tapi malah membantu suster menyediakan alat. Namu tak lama setelah makan siang ibuku akhirnya merasakan kontraksi yang hebat, dan kata dokter sudah pembukaan 7. Ayahku pun di telpon dan diminta mendampingi ibuku. Tepat pukul 1.45 siang akupun terlahir. Setelah selesai dibersihkan aku diletakkan diruang bayi, ayahku bilang saat itu aku adalah bayi yang paling merah diantara bayi yang lain. Namun ayahku terkejut ketika menggendongku, ditemukan sebuah tanda lahir biru yang besar di ubun-ubunku. Ayahku kala itu antara heran tapi juga merasa lucu melihat bercak biru yang cukup besar di bayinya yang kemerahan.

Hal lucu lain tenngah terjadi di kamar rawat ibuku, ketika itu ibuku baru selesai melahirkan lalu dibawa kembali kamar rawat. Sesampainya diruangan ibuku yang masih lemas tiba-tiba di caci maki oleh salah seorang suster. Kata ibuku suster itu marah-marah kepadanya karena ibuku seorang yang kepala batu. Heran dengan cacian dari suster, ibuku bukannya melawan tapi malah senyum-senyum saja. Suster itupun semakin kesal dan semakin kuat mencaci ibuku. Lalu ayahku pun datang membawaku digendongannya dan heran kenapa ibuku dimarahi suter. Usut punya usut ternyata suster itu salah orang. Suster itu mengira ibuku salah satu pasiennya yang ngotot mau melahirkan normal dan menyebabkan anaknya meninggal. Merasa malu akhirnya suster itupun meminta maaf dan pamit dri kamar ibuku. Saat itu ibuku hanya tetawa melihat kejadian tadi dan semakin tertawa ketika ayahku memperlihatkan ubun-ubunku yang bertanda biru.

Akhirnya seiring berjalannya waktu tanda biru di ubun-ubunku mengecil tapi tidak sepenuhnya menghilang. Tanda biru itulah yang dikaitkan ibuku kenapa aku seharusnya menjadi anak pertama. Buatnya tanda biru itu adalah bukti bahwa semasa didalam perut aku dan kakaku saling berkompetisi namun aku mengalami kecelakaan parah seningga harus menunggu 5 tahun untu pulih dan terlahir kedunia. Memang sangat aneh tapi itu kenapa tanda lahirku selalu menjadi topik lucu di keluargaku. Dan masih ingat suster pemarah? Ia selalu rutin membawakan perlengkapan dan kebutuhanku ketika bayi setiap bulannya sampai aku menginjjak usia 3 tahun. Mungkin rasa bersalah mendalamlah yang membuatnya seperti itu. 3 tahun terbialng cukup lama untuk seseorang yang selalu diberi. Ibuku sudah sering kali menolak pemberian suster tersebut, tapi setiap ibuku menolak suster itu pasti akan marah lagi, jadi ibuku memutuskan lebih baik diterima saja daripada kena marah terus.

Kembali mengenai aku dan kakaku. Aku dan kakaku meski seperti kutub selatan dan utara tapi kami tidak pernah berkelahi hebat. Paling hanya sampai saling mengigit, itupun karena dia suka mengejek gigi kelinciku. Meski jarang berkelahi aku pun juga tidak terlalu akranb dengan kakaku. Maklum saja kakaku yang si kutu buku akan jauh lebih memilih memperhatikan tumpukan tebal buku dilantai dan membacanya ketimbang aku adiknya. Seiring berjalannya waktu pun aku dan kakaku tetap seperti itu, tapi kini dia sudah mulai sadar bahwa aku ini manusia dan statusku adalah adiknya. Apalagi aku dan kakaku sempat hidup hanya bedua dalam satu kamar kost ketika aku masih menjadi maba dan kakaku sedang sibuk menyelesaikan penelitiannya. Ibuku juga kerapkali memaksa aku dan kakaku untuk sekadar jalan-jalan samapai berbelanja bulanan. Kakaku kini sedang asik dengan pekerjaannya dan aku juga yang tengah asik menjalani hari-hari sebagai mahasiswa, tetapi berkt adanya media sosial membuat komunikasi antara kami tetap terjalin. meski komunikasi itu hanya berupa mengejek satu sama lain atau sekedar meminta pulsa tapi begitulah komunikasi kami. aku tau kakaku adalah sosok penyayang, tapi menunjukkannya padaku adalah hal tabu baginya. aku juga mencintai kakaku, selain kami memang bersaudara yang terikat hubungan darah, juga karena aku tau perjalanan hipu kakaku sebenarnya lebih sulit dibandingkan aku. oleh karena itu pula aku bersyukur terlahir menjadi bungsu meski dengan tanda lagir biru besar di ubun-ubun. Jadi hubungan kini sudah jauh lebih baik ketimbang ketika dia masih menjadi kutu buku yang membosankan.

Itulah biografi singkat  tentang aku dan kakak perempuan yang akan lebih memilih membaca ketimbang adiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline