Lihat ke Halaman Asli

Akhirnya, Kembali Berlangganan Kompas Cetak

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tahun 2014, rencana awal tidak ada lagi surat kabar cetak yang akan kami beli. Saya dan suami sudah merasa cukup dengan berita terkini yang kami dapatkan dari media on line. Selain lebih hemat secara biaya, keuntungan lain adalah tidak dibutuhkannya tempat untuk penyimpanan koran.

Namun rencana ini, tidak jadi dilakukan. Kekhawatiran terhadap lompatan teknologi yang dialami anak-anak adalah alasan utama berlangganan koran cetak. Anak-anak kita saat ini memulai hari dengan teknologi di sekitar mereka. Minat baca belum terbangun namun sudah langsung terhubung dengan laptop, telepon seluler, dan internet. Dan alat-alat elektronik yang terhubung dengan anak-anak kita, semuanya terangkum dalam satu kata: GAME.

Game, seperti juga artinya permainan, jauh lebih menyenangkan dari tulisan-tulisan. Bahkan tulisan yang dibubuhi gambar sekalipun (komik) tidaklah semenarik dan seinteraktif game.

Koran cetak tidak serta merta menarik minat baca anak, namun saat anak melihat koran cetak datang setiap pagi ada pelajaran besar yang terserap di anak-anak kita. Loper koran yang tidak pernah libur (kecuali tanggal merah libur nasional) selalu memulai hari sebelum subuh...

Melihat koran datang setiap hari pasti sedikitnya menimbulkan ingin tahu anak untuk melihat. Foto depan akan menarik anak, melihat orang tuanya membuka-buka lembar koran yang besar menimbulkan minat anak untuk bergabung. Mulanya orang tua mungkin harus membacakan, tetapi berjalannya waktu anak akan mencari sendiri berita yang ia sukai...

Tidak mudah menarik minat baca anak, namun orang tua harus berusaha.. Beberapa hal yang disadur dari harian Kompas (15/1) ini mungkin bisa memotivasi para orang tua untuk menanamkan minat baca pada anak-anak kita:



  1. Penelitian Taufik Ismail tentang membaca.

    Masa penjajahan Belanda, siswa AMS-B (Algeme(e)ne Middelbare School), setara SMA (Sekolah Menengah Atas) wajib membaca 15 karya sastra setahun, sementara AMS-A wajib membaca 25 karya sastra.

    Data di lain negara hari ini, lebih membuat kita semakin terbelakang. Di Amerika Serikat, siswa SMA wajib membaca karya sastra 32 judul setahun, di Jepang sebanyak 15 judul, di Brunei sebanyak 7 judul, Singapura & Malaysia sebanyak 6 judul, dan siswa di Thailand 5 judul.


Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline