Lihat ke Halaman Asli

Menunggu Kolaborasi Gula Amran dan Rini

Diperbarui: 23 Januari 2019   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pertanian tebu (foto dari ayyun.student.unej.ac.id)

Beberapa waktu lalu, impor gula pernah memantik polemik di dalam negeri. Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai Indonesia kebablasan dalam mengimpor gula dari luar negeri. 

Beberapa indikator yang ia gunakan adalah sepanjang tahun 2017-2018, Indonesia mengimpor gula hingga 4,45 juta ton. Volume impor gula ini tertinggi dibanding Cina (4,2 juta ton), Amerika Serikat (3,11 juta ton), Uni Emirat Arab (2,94 juta ton), Bangladesh (2,67 juta ton), dan Aljazair (2,27 juta ton).

Volume gula yang diimpor Indonesia itu juga melampaui negara seperti Malaysia (2,02 juta), Nigeria (1,87 juta ton), Korea Selatan (1,73 juta ton), dan Arab Saudi (1,4 juta ton).

Selain itu, ekonom itu juga mengatakan bahwa harga gula di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh, per Januari 2017, harga gula per kilogram di Indonesia US$ 1,1, sementara harga gula di dunia US$ 0,45. Begitu juga per Juni 2017, harga gula sebesar US$ 1 per kilogram, atau lebih tinggi ketimbang harga di dunia US$ 0,31.

Pada November 2018, harga gula di Indonesia sebesar US$ 0,85 atau melampaui harga gula dunia US$ 0,28. Dengan kurs Rp 14.041 per dolar AS, harga gula di Indonesia saat itu mencapai Rp 11.936 atau tiga kali lipat dari harga gula dunia Rp 3.932 per kilogram.

Tapi yang sebenarnya ia lupakan adalah, gula yang diimpor itu adalah untuk kebutuhan industri, yakni gula rafinasi. Dan pelaku industri, khususnya yang berskala kecil mengakui bahwa mereka memang masih membutuhkan gula impor bagi keberlangsungan usaha. Setidaknya ada tiga alasan utama industri masih bergantung gula impor. 

Yang pertama gula rafinasi itu tidak mengandung molasis, yaitu sampah mikro, bakteri dan kuman, yang masih menempel di gula. Ketika ada molasis, makanan akan cepat rusak. Alasan berikutnya adalah, gula rafinasi selalu tersedia dari Januari sampai Desember. Sedangkan jika menggunakan gula lokal, mesti menunggu musim panen. Alasan ketiga, terakhir, dan cukup penting adalah harga. Gula lokal bisa lebih mahal hingga Rp2.000 per kilogramnya dibandingkan gula rafinasi. Jadilah pengusaha lebih memilih gula rafinasi karena lebih murah.

Rujukan: 

https://ekbis.sindonews.com 

Tiga alasan itu memang bisa membuat ketergantungan industri pada gula impor sulit dihilangkan. Pemangkasan impor gula hanya dapat dilakukan apabila produksi gula dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan nasional dengan kualitas baik. 

Jika produksi gula dalam negeri mampu memenuhi atau setidaknya mendekati angka kebutuhan, kebijakan impor gula dipastikan dapat ditekan. Namun untuk saat ini, jika impor gula terus ditekan, imbasnya akan membuat harga gula di pasaran melambung. Pada akhirnya, konsumen dan unit usaha kecil yang menggunakan gula sebagai bahan produksinya akan dirugikan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline