Lihat ke Halaman Asli

Sri Lestari

Reader & Blogger

Widipa yang Lenyap Ditelan Malam

Diperbarui: 16 April 2022   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kabut itu tampak lekat, berpadu dengan gelap, membentuk selimut yang melekat dengan mesra. Tak ada terang benderang, hanya ada bias-bias cahaya matahari yang mengintip malu dari cakrawala. Tak ada bising percakapan, hanya ada gemercik dedaunan yang saling beradu satu sama lain. Tak ada jalan setapak, hanya ada semak belukar yang memenjara kaki. Sejauh apapun mata memandang, yang ada hanyalah hamparan hijau yang tumbuh lebat dan menjulang hingga ke awang-awang.

Kau tak pernah berpikir akan mengarungi belantara dengan sepasang kaki yang terus menjerit lelah. Kau memaksa kakimu terus menjelajah begitu dalam. Namun kau tak punya pilihan. Sebab kau tak mungkin berhenti sampai kau menemukan tempat yang bisa memberikanmu sebuah kehidupan. Di saat seperti ini kau berharap seekor capung tiba-tiba muncul di depanmu, menawarkan punggung dan mengantarmu hingga ke tujuan. Bidadari yang memberimu sepasang sayap untuk terbang. Atau kurcaci yang datang menghampirimu dan mengajakmu tinggal di gubuknya. Tapi tentu saja mustahil. Khayalan yang tak akan terwujud nyata. Hanya mimpi yang bisa membuatmu terlibat di dalamnya.

Bersama khayalan-khayalan itu kau terus melangkah. Dan saat bias cahaya semakin bertolak jauh ke awang, kau akhirya menemukan sebuah gubuk kecil. Letaknya tepat di pinggir sungai. Siapa yang membangunnya? Kau tak tahu. Jika bukan kurcaci mungkin saja hantu-hantu belantara yang tahu akan kedatanganmu.

Kini, belantara gelap telah berselimut dengan sebenar-benarnya gelap. Kau pun segera menyalakan api sebelum gelap menenggelamkanmu hingga membuatmu tak bisa melihat tanganmu sendiri di depan mata. Namun mempertahankan api agar terus menyala sepanjang malam adalah sesuatu yang sulit. Kau hampir frustrasi dan hampir saja melewati waktu hanya dengan berbaring sambil menunggu matahari terbit sebelum samar-samar kau melihat kilau keemasan yang berasal dari semak belukar beberapa meter di depanmu.

Api telah padam. Membantu penglihatanmu sehingga menunjukkan jika cahaya itu benar-benar ada. Ragu kau mendekat, mengintip melalui celah daun yang terbuka dan seketika kau melebarkan mata. Kau memastikan sekali lagi. Kali ini kau benar-benar terperangah. Pemandangan itu sungguh nyata.

Kau pun menyingkirkan semak-semak dengan membabi buta. Lalu segera saja kau menggali lubang di bawahmu lebih lebar dan masuk ke dalamnya. Dengan tegas matamu memberi tahu bahwa pemandangan di bawahmu ini sungguh benar adanya.

"Dia di bunuh karena tak bisa memberi keturunan."

Kau terperanjat mendengar suara yang muncul tiba-tiba. Kau hampir terjatuh menimpa makhluk-makhluk di bawah sana jika tanganmu tak sigap berpegang erat pada kedua sisi lubang yang baru saja kau gali.

"Kau siapa?" tanyamu terkejut.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kau siapa? Bagaimana bisa kau berada di sini?"

"Aku Widipa."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline