Kondisi kekerasan dan pelecehan seksual di indonesia kini semakin hari semakin meningkat. dari beberapa berita pekan ini menunjukan bahwa angka pelecehan seksual sangat memprihatinkan untuk kita dengar. kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada orang dewasa melainkan juga banyak terjadi pada anak- anak. kekerasan seksual menjadi hal yang paling diresahkan oleh masyarakat khususnya dikalangan perempuan. beragam problem sensitif menimpa kehidupan kaum wanita, kaum Wanita atau perempuan pun sangatlah rentan sebagai korban kejahatan di bidang kesusilaan yaitu diantaranya kekerasan seksual (sexual violence) dan pelecehan seksual (sexual harassment). Terjadi poly kejahatan kekerasan yang terjadi menimpa kaum perempuan, baik pada pembunuhan, perkosaan serta penganiyaan.
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (PTK) sepanjang tahun 2020 sebanyak 299.911 kasus, antara lain: [1] Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama, sampai dengan 291.677 kasus. [2] Lembaga layanan umum Komnas Perempuan mencatat total 8.234 kasus. [3] Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) komnas perempuan mencatat total 2.389 kasus, 2.134 kasus berdasarkan gender, dan 255 kasus berdasarkan tidak berbasis gender dilaporkan. Dan 25.210 kasus kekerasan seksual per 2021, 79,1% korban perempuan dan 56,4% korban anak, serta jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual meningkat 25,07%, total 8.730 kasus (KemenPPA,2021).
Secara Yuridis kekerasan seksual diatur dalam macam- macam regulasi diantaranya yaitu KUHP, Undang-Undang Penghapusan KDRT, dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), serta UndangUndang Perlindungan Anak. namun ketentuan undang-undang tersebut dinilai masih kurang. Peraturan isu saat ini masih fokus pada aspek pidana dan hukuman bagi pelanggar dengan kurang memperhatikan kepatuhan hak korban dan pemulihan psikologis korban.
Dengan ketiadaan peraturan perundang-undangan yang secara khusus membahas tentang pemberantasan kekerasan seksual mencerminkan belum adanya payung hukum yang memadai untuk melindungi korban. alhasil, Pemerintah mengesahkan undang-undang terkait, Rancangan Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Bahwa terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjelaskan definisi kekerasan seksual yaitu "Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik." Berdasarkan 15 jenis kekerasan seksual yang diidentifikasi oleh Komnas Perempuan, ditangani sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kondisi ini kemudian mendorong adanya hukum tertentu. mengatur penghapusan kekerasan untuk melindungi korban, sebagaimana digariskan dalam RUU Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Lalu, seberapa urgen kah RUU TPKS sebagai pembaruan hukum perlindungan dan pemulihan terhadap korban? Jika dianalogikan Rancangan undang-undang TPKS dianggap mendesak karena kurangnya peraturan nasional saat ini tentang pencegahan dan pengobatan kekerasan seksual yang ada dan juga RUU TPKS dibutuhkan dalam dua bidang. Pertama, bagaimana korban akan mendapat keadilan dan perlindungan dari penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa karena mempunyai legal standing dalam menindak; dan kedua, yang perlu diatur dalam RUU TPKS adalah soal memisahkan antara urusan publik dan urusan privat.
Selain itu penulis juga merekomendasikan akan pentingnya edukasi tentang segala bentuk kekerasan seksual sejak dini. Dengan demikian, jenis pendidikan ini dapat mencegah terbentuknya kebiasaan yang menganggap bahwa kekerasan seksual tidak penting. Itu juga dapat memprediksi keberadaan penjahat dan korban di masa depan.
Dengan mendidik anak sejak dini, mereka akan memahami sepenuhnya tentang kekerasan seksual. Dan dalam menimbang terkait menjolaknya angka kekerasan seksual di indonesia kasus kekerasan seksual terbukti meningkat drastis, terutama di kalangan perempuan dan anak, selama masa pandemi Covid-19. penulis juga menyarankan agar RUU TPKS ini segera disahkan karena keterbatasan instrumen dan alat dalam ketentuan KUHP hanya mencakup dua hal yaitu daya tarik seksual dan daya tarik atau erotisme. Sementara itu, RUU TPKS mengklasifikasikan kekerasan seksual dengan definisi yang lebih luas ke dalam 9 kategori dan dapat lebih menjerat pelaku, dan RUU TPKS memberikan perlindungan bagi korban, keluarganya, dan saksi. Selain itu, pelaku kekerasan seksual direhabilitasi agar perilaku kekerasan tidak terulang kembali.
Setelah mengalami serangkaian proses yang panjang pada tanggal 12 April 2022 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah melakukan sidang paripurna untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang TPKS menjadi Undang-Undang dimana ini merupakan momen bersejarah bangsa indonesia yang akan menjadi pondasi bagi upaya memastikan lestarinya kehidupan yang berkemanusiaan adil dan beradab serta menjadi wujud nyata dalam upaya mencegah bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi korban, melaksanakan penegakan hukum, hingga menjamin tidak terulangnya terjadi kekerasan seksual.
Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini mempunyai arti penting dalam menguatkan pengaturan tentang perlakuan dan mengacu pada tanggung jawab negara dalam menangani kasus kekerasan seksual dan pemulihan komprehensif untuk korban. Undang- undang ini penting dalam menekankan azas pengaturan TPKS berdasarkan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (Pasal 2 UU TPKS), serta tujuan utama pengaturan kekerasan seksual yang berorientasi pada korban (Pasal 3), dalam mana hal ini tidak pernah dimuat dalam UU lain sebelumnya.
Substansi Undang-Undang TPKS juga mengatur hak yang jauh lebih komprehensif, menjangkau seluruh aspek yang dibutuhkan, seperti adanya Rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial (Pasal 67-70), Restitusi, Kompensasi hingga Dana Bantuan Korban yang berusaha keras menjamin efektifnya pemulihan bagi korban (Pasal 30-38), Pelayanan untuk korban pun dijamin untuk diselenggarakan secara terpadu (Pasal 73-75), Pengaturan hak korban spesifik untuk kekerasan seksual siber yang memerlukan respon cepat dalam penghapusan konten (Pasal 47). Dan dalam bahasan hukum acara pidana terdapatnya Jaminan visum dan layanan kesehatan yang diperlukan Korban secara gratis (Pasal 87 ayat (2)), Aparat Penegak Hukum yang harus berperspektif korban (Pasal 21 & Pasal 24), Alat bukti yang mengarusutamakan penggunaan visum psikiatrikum ataupun pemeriksaan psikologis korban jaminan pendampingan korban, termasuk untuk saksi/korban difabel (Pasal 26 & 27), lalu kemudahan pelaporan, pada penyidik dan lembaga layanan (Pasal 39) dan Perintah perlindungan jika dibutuhkan (Pasal 42).