Bicara soal makan soto, Soto Esto menjadi kenangan yang tak akan saya lupakan. Kejadiannya tahun 70-80an.
Dulu, Rumah saya terletak persis di belakang garasi bus Esto, di kampung Pungkursari Salatiga. Disamping garasi itu ada gang kecil, rumah saya hanya 6 rumah dari mulut gang.
Sebelum jam 6 pagi, Mbah Marto, begitu sang penjual dipanggil, sudah memikul dagangannya dari rumah beliau. Letaknya di RT lain dengan jarak sekitar 300 meteran.
Setelah sampai diwarungnya, pikulan diletakkan, jualan disiapkan. Terkadang ada pembeli yang sudah menanti duluan. Sarapan lezat soto Esto menjadi awal yang nikmat memulai kegiatan sehari hari.
Dulu belum musim jualan pakai spanduk. Tak ada nama terpampang di warung soto Mbah Marto. Entah siapa yang memulai menyebut Soto Mbah Marto dengan sebutan soto Esto. Mungkin karena lokasi didepan garasi bus Esto, untuk mempermudah menamainya, soto Esto yang menjadi penandanya.
Soto Esto memang beda. Kebanyakan soto di Salatiga berwarna bening, tetapi soto Esto berwarna kuning. Pasti ada bumbu rahasia yang membedakan dengan soto lainnya. Rasanya khas Salatiga, gurih dan ada manis manisnya.
Salatiga terletak di tengah kota Semarang dan Solo. Makanya warga Salatiga juga suka makanan yang manis, tetapi tidak terlalu manis. Hal itu dikarenakan ada kombinasi rasa masakan wilayah Solo yang gurih manis dan masakan Semarang yang cenderung gurih asin.
Seperti sudah diulas artikel lain, yang khas dari Soto Esto adalah lauk pengiringnya. Ada karak yang dihancurkan sebagai toping, ada juga mentho/lentho yang disajikan.
Karak adalah krupuk sejenis krupuk uli yang bahannya terbuat dari nasi. Warnanya coklat dengan bentuk segi empat. Saya suka karak yang agak gosong. Ada sensasi rasa berbeda jika kita menikmatinya. Apalagi jika dilumuri dengan sambal kecap. Kriuk kriuk nikmat.