Lihat ke Halaman Asli

Sri Fatmawati

Guru Bahasa Indonesia dan Cerpenis

Buket Mawar

Diperbarui: 19 November 2023   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: dokumentasi pribadi

Cuaca minggu siang ini cukup bagus, tidak begitu terik, tidak begitu panas, lelakiku kini tengah mengajakku keliling kota sebelah. Aku menilik bunga mawar merah yang ia bawa di awal pertemuan. Aku tak pernah menyangka ia akan membawakan bunga itu. Aku memang telah lama menginginkan bunga. Ternyata ia masih saja mengingat keinginanku itu. Aku akui pasanganku ini adalah lelaki yang telah lama ku damba setelah beberapa laki-laki yang banyak sekali bendera merah yang membuatku memutuskan pergi dari kehidupan mereka.

Aku pun mengakui jikalau aku mudah sekali menghindari lelaki yang berpotensi tidak baik untuk kehidupanku selanjutnya. Aku banyak mengambil pelajaran sebagai anak yang tidak cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua, termasuk ayah. Lahir tanpa mendapatkan peran tersebut, aku tergugah untuk tidak membersamai laki-laki yang aku kira ketika kelak menjadi orang tua, ia tidak akan meninggalkan anak-anaknya sebagaimana aku diperlakukan dahulu. Aku bersyukur, aku melihat masa depan yang cerah saat mengenal laki-laki ini. Setelah cukup puas berkeliling, aku yang mulai kelaparan ini membuatnya memutuskan untuk singgah ke restoran terdekat.

Ia meletakkan buket mawar merah di hadapanku, pasanganku kini tengah memesan makanan setelah kami melihat beerapa menu dari buku menu. Bunga mawar ini masih nampak segar, dengan beberapa duri di daun dan tangkainya. Bunga cantik nan elegan ini, meski kelihatannya indah tapi dia menyakitkan siapapun yang sembarang memegangnya. Memikirkan bunga ini, aku jadi teringat padamu. Kamu yang begitu indah, tetapi begitu menyakitkan saat dimiliki olehku.

Sudah genap dua tahun sejak pertemuan itu denganmu, mungkin itu adalah yang terakhir kalinya. Masih di kota yang sama, di daerah yang sama, tapi belum pernah sekali pun aku bertemu denganmu lagi, bahkan hanya untuk berpapasan saja. Aku hanya bisa menghela nafas ketika tidak sengaja melewati tempat-tempat yang pernah aku kunjungi bersamamu. Pedih rasanya tatkala melihatmu terus berjalan seakan aku tidak pernah mampir di kehidupanmu. Atau memang aku tidak pernah menjadi pemeran utama dalam kisahmu.

Ah ya, aku teringat lagi bagaimana aku sebegitu jatuh cinta kepadamu. Seperti cerita yang ada di aplikasi yang isinya novel-novel itu. Aku menemukan orang dengan ciri-ciri yang begitu kental dan menawan, aku seperti sedang berpacaran dengan figur yang selalu aku kagumi saat dahulu di sekolah menengah. Seseorang yang berwawasan luas, tinggi, mudah bergaul dengan siapapun. Badannya tinggi tapi tidak terlalu kurus, pendidikannya tidak tinggi tapi punya kepintaran yang setara dengan lulusan bangku strata satu. Wawasannya luas dan bahasa inggris nya mumpuni.

Ada satu ketika tatkala aku tengah menonton televisi dengan acara berita berbahasa inggris, kau tahu betul bagaimana kalimat berbahasa inggris itu meluncur cepat dari mulut sang pewara. Sementara aku tengah mencerna, kau sudah langsung menyimpulkan sedemikian betul isi berita itu.  Mungkin kalau kamu ikut tes TOEFL, skornya melebihi lima ratus. Padahal aku masih di angka tiga ratusan. Aku benar-benar terpesona.

Kau tahu, aku sedang berkaca, seperti melihat diriku pada tubuh yang berbeda dan jenis kelamin yang berbeda. Sangat menyebalkan, tapi tak tahu bagaimana aku terperosok pada karakter yang ikut tumbuh bersamamu. Kamu mengajarkan banyak hal. Dalam sudut pandangku, mendiamkan aku sama seperti membuatku terus menerus membenahi diri. Aku membuat dinding pertahanan diri agar ketikakamu kembali dan kemudian mendiamkan aku lagi, aku sudah tahu harus bersikap bagaimana.

Ada satu sisi yang mungkin kamu tidak tahu. Aku peringatkan terlebih dulu agar kamu tidak berpikir bahwa aku menyalahkanmu. Tidak sama sekali aku bermaksud seperti itu. Saat aku masih bersamamu, ada satu fase dimana aku depresi, aku menekan perasaan amarah, kesal, yang seharusnya aku utarakan, aku sampaikan padamu, tetapi aku harus terus memendamnya agar kamu tidak lagi merasa risih. Kamu tahu dampaknya apa? Aku seringkali menangis tanpa sebab, mempertanyakan apa peranku, mempertanyakan bagaimana aku di hidupmu, dan berbagai pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran.

Bagaimana perasaan ini berubah menjadi begitu pilu? Yah, bagaimana tidak. Aku ingat betul pertemuan itu, kau dengan kaus hitam duduk di samping pintu kafe yang terbuka. Asap rokok mengepul ke arah keluar dan sudah kuperingatkan dari awal agar tidak merokok di dalam ruangan, tetapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Keras kepala sekali memang, sama sepertiku.

Kamu dengan jahatnya berkata, “Selesai ini, aku harap kita tidak usah bertemu lagi.” Kepulan asap rokok bergerak bebas di sekitarmu, wajahmu tidak sama sekali menunjukkan kesedihan di dalamnya. Selalu dingin, selalu tanpa tanda tanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline