Awal tahun 2022 menjadi momen yang kurang mengenakkan bagi civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), nama kampus dengan slogan "Muda Mendunia Unggul dan Islami," itu dirusak oleh oknum mahasiswa dengan inisial MKA.
Dimana melalui akun Instagram @dear_umycatcallers, deretan postingan yang diunggah memberi penjelasan yang mengarah ke satu hal: kekerasan seksual. MKA yang merupakan eks anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas, memanfaatkan kuasanya untuk berbuat hal-hal yang tidak senonoh tanpa persetujuan. Setidaknya ada 3 perempuan penyintas yang berani bersuara.
Bermula dari situlah kasus ini menggelinding jadi bola panas, UMY yang biasanya oleh media arus utama diberitakan sederet prestasi positif tiba-tiba jadi sorotan negatif cukup serius. Bangunan prestasi yang selama ini dikerjakan dengan susah payah seolah runtuh. Ulah nila setitik rusak susu sebelanga. UMY tentu tidak tinggal diam, dan lekas membuat kepercayaan publik kembali pulih.
UMY bergerak cepat tetapi sekaligus tidak gegabah. Sejumlah rangkaian investigasi dilakukan. Ketika mendapati fakta yang pasti. Tanggal 6 Januari, UMY lantas menggelar jumpa pers yang dihadiri 43 awak media dan apa yang menjadi harapan banyak orang terwakilkan: MKA diberhentikan secara tidak hormat dan para penyintas akan diberi perlindungan dan pendampingan baik secara hukum maupun psikologis.
Penanganan Kekerasan Seksual: UMY (1) vs UGM (0)
Dari kasus MKA ini terbukti UMY sangat serius dan zero tolerance terhadap segala bentuk asusila apalagi sampai pada level kekerasan seksual. Kurang dari sepekan sejak kasus bergulir dari unggahan Instagram.
Bandingkan misalnya dengan beberapa kampus lain yang diuji dengan kasus serupa. Alih-alih bersikap kesatria justru kampus lain berusaha menyembunyikan dan berlepas tangan dan lebih parah lagi melanggengkan para pelaku kekerasan seksual.
Ambil contoh satu saja, Universitas Gajah Mada (UGM) dengan kasus Agni (bukan nama sebenarnya) yang sangat berlarut-larut. Untuk Anda yang belum tau konteksnya, kasus Agni ini terjadi pada Juni 2017 dimana ia mengalami pemerkosaan saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku yang dilakukan oleh mahasiswa yang satu kelompok dengannya berinisial HS. Untuk lebih jelasnya Anda bisa menengok laporan mendalam yang diterbitkan oleh pers mahasiswa UGM, Balairung Press.
Ringkasnya, pada Senin (4/2/2019) lalu, Rektorat UGM mempertemukan Agni dengan HS untuk menandatangani kesepakatan penyelesaian melalui jalur non-litigasi atau secara internal UGM. Bertahun-tahun lamanya, dengan segala jerih payah dan keterpaksaan kasus ini 'berakhir' dengan cara yang sama sekali tidak memihak Agni sebagai penyintas. Agni ditelantarkan dan pelaku malah seolah diberi lampu hijau.
Dalam hal ini, sangat jelas letak perbandingan antara UMY dan UGM.
UGM boleh saja unggul dalam pemeringkatan kampus terbaik versi Webometrics atau UniRank, dan
sebagai universitas negeri tertua di Indonesia hal itu sangat wajar.
Tapi dalam hal kasus penangangan kekerasan seksual, UGM dan kampus-kampus lainnya perlu belajar dengan UMY: sebuah kampus yang belum lama ini merayakan hari lahir ke-41. Sebuah usia yang masih sangat muda untuk ukuran universitas.