Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan dan Ironisme

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam upaya mencerdaskan kehiidupan bangsa sesuai amanat UUD 1945 pemerintah telah mengupayakan berbagai macam hal termasuk membuat anggaran pendidikan sedikitnya 20% dari APBN. Namun besarnya anggaran pendidikan tak lantas meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh buruknya  kualitas sarana dan prasarana yang menunjang penyelenggaraan pendidikan. Hal ini memunculkan pertanyaan dimanakah anggaran besar itu digunakan.

Anggaran pendidikan tidak sepenuhnya digunakan dan dimanfaatkan oleh penerima anggaran. Anggaran tersebut tidak dikelola dengan baik oleh pihak penerima dalam hal ini pemerintah daerah. Pemerintah daerah seringkali tidak menjalankan fungsinya dalam pengelolaan dana pendidikan, akibatnya dana yang seharusnya digunakan untuk reparasi dan pembangunan sekolah seringkali dihamburkan diakhir tahun  kesektor lain yang tidak crusial hanya demi menggunakan anggaran agar anggaran tidak dipotong ditahun berikutnya . hal ini tentu berdampak pada kualitas pendidikan yang hanya jalan ditempat.

Besarnya dana pendidikan yang dianggarkan dalam APBN seharusnya mampu menyelesaiakan masalah-masalah pendidikan di negri ini. Ironisnya bukan hanya tak mampu menyelesaikan persoalan pendidikan, malah semakin banyak masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Berikut adalah ironisme yang ada dalam dunia pendidikan kita :

1.Mahalnya pendidikan

Meskipun anggaran pendidikan adalah 20% dari total APBN, namun mahalnya pendidikan masih tetap dirasakan di semua jenjang pendidikan. Contohnya  di mataram Nusa Tenggara Barat, rata-rata biaya masuk SMA/SMK negri  rata-rata sebesar 4,5 juta. Ironisnya sekolah suasta berlatar belakang Madrasah yang dibangun oleh organisasi NW(Nahdathul Wathan) malah memberikan pendidikan gratis untuk semua jenjang pendidikan  dan bahkan untuk mendapatkan siswa di kawasan yang sulit di jangkau mereka menyewa secara ekslusive kendaraan umum untuk menjemput para siswanya.

Selain mahalnya biaya pedaftaran masuk sekolah, orang tua siswa masih harus dipusingkan dengan biaya-biaya lainnya seperti sumbangan wajib untuk bangunan sekolah yang entah apa yang dibangun oleh pihak sekolah, buku-buku pelajaran, biaya transportasi dsb. Sehingga pendidikan

Mahalnya pendidikan tak mampu menyokong ketersediaan sarana fisik sekolah  yang memadahi. Hal ini terlihat dari banyaknya sekolah yang rusak maupun dibukanya sekolah-sekolah darurat diberbagai daerah terutama di daerah terpencil. Yang tak kalah memperhatinkan adalah ketersediaan tenaga pengajar. Padahal jumlah lulusan sarjana pendidikan sangat berlimpah namun masih saja banyak sekolah kekurangan tenaga pengajar.

Ironi lain mengenai mahalnya pendidikan adalah seharusnya berbanding lurus dengan kualitas pendidikan yang ada. Namun yaang terjadi adalah mahalnya pendidikan membuat banyak siiswa yang sebenarnya cerdas malah tidak dapat sekolah atau putus sekolah. Meskipun ada  dana BOS  dan BSM tak dirasakan semua kalangan miskin dapat merasakan dampaknya. Buktinya masih banyak anak-anak yang putus sekolah dan bahkan tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah.

2.Rendahnya Mutu Pendidikan

Kualitas pendidikan di  Indonesia sangatlah rendah karena kompetensi yang di dapatkan siswanya hanya sampai pada tahap peenghafalan saja. Tentu saja menghafal tanpa mengasai konsep yang ada dalam hafalannya. Rendahnya mutu pendidikan disebabkan oleh rendahnya kualitas guru, sarana pembelajaran yang kurang dsb. Akibat rendahnya mutu pendidikan berdampak langsung pada SDM yang ada.

Rendahnya mutu pendidikan Indonesia didasarkan oleh rendahnya kompetensi yang di miliki oleh guru. Misalnya seorang guru yang berasal dari sarjana pendidikan bahasa mengajarkan pendidikan kewarga negaraan dsb. Hal ini tentu saja berdampak pada cara penyampaian materinya terhadap siswa sehingga siswapun tak mampu menerima dan mencerna materi yang diajarkan.

3.Efisiensi Pengajaran Di Indonesia

Lamanya jam pendidikan formal di Indonesia dirasakan sangat panjang dan tidaklah effective. Bahkan ada sekolah yang menetapkan jam sekolah mulai pukul 07-00 sampai pukul 16-00. Hal ini selain sangat melelahkan bagi para siswa juga tidak dapat menyerap materi pelajaran yang di dapatkan dengan efektif. Belum lagi ditambah dengan beban tugas yang diberikan membuat siswa seolah dicekik oleh kegiatan pendidikan formal yang dijalaninya.

Meskipun jam belajar formal sudah sangat panjang, beberapa orang tua siswa yang merasa anaknya kurang dalam mata pelajaran tertentu akan membawa anaknya masuk ke dalam kegiatan belajar informal seperti kursus. Hal ini tentu akan menambah berat beban siswa dalam peroses pendidikannya. Terlebih kebanyakan oranng tua di Indonesia memberikan kursus yang sebenarnya tidak di minati oleh anaknya bukanya memberikan kursus yang sesuai dengan minat dan bakat anaknya. Sehingga bakat yang dimiliki oleh anak tidak mampu berkembang dengan baik.

4.Ijazah vs Skill

Lulusan SMK tidak semuanya langsung bekerja bahkan banyak lulusan SMK yang kembali melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi yang bukan merupakan basis pendidikannya di SMK. Keterampilan yang mereka peroleh di SMK tak memjamin mereka bisa mendapatkan pekerjaan karena mereka butuh ijazah minimal diploma 3 untuk dapat melamar pekerjaan.Ironisnya ketika mereka wisudapun mereka masih harus bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan.

Selain dalam ijazah dan skill dibutuhkan 3 hal tambahan untuk seorang sarjana bisamendapatkan pekerjaan yaitu link atau jaringan, keberuntungan dan mencoba peruntungan dengan membuat usaha sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline