Lihat ke Halaman Asli

Koruptor vs BBM Non Subsidi

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dimana Anggota Dewan??

Dimana Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat. Saat ini anggota DPR RI sedang dalam masa resesnya. Mendengarkan aspirasi rakyat yang telah memilih mereka. Namun kenapa sebelumnya senayan hanya mampu terdiam ketika tahun lalu harga BBM naik. Padahal waktu itu KMP memegang lebih dari 50% suara di parlemen, namun pihak oposisi itu diam. Secara terang-terangan elite KMP menyatakan akan mendukung penuh kebijakan pemerintah jika itu untuk kepentingan rakyat. Apakah menurut KMP harga BBM bukan untuk kepentinggan rakyat?? Jadi kenapa KMP hanya diam.

Angota dewan DPR RI tidak menggunakan haknya untuk bertanya pada pihak eksekutif tentang kenaikan harga BBM ataupun mencoba untuk masuk kedalam ranah pembahasan karena BBM merupakan ranah dalam pembahasan anggaran yang dibuat oleh DPR beserta pemerintah. Jadi seharusnya pemerintah juga melibatkan angota dewan  dalam pembahasan  kenaikan ataupun penurunan BBM.

Tak seperti kenaikan harga BBM pada masa SBY yang diwacanakan dan melibat anggota dewan dalam pembahasannya karena menyangkut kekuatan dan daya tahan subsidi BBM terhadap APBN. Saat ini keadaaan yang berbeda terjadi karena subsidi BBM telah dihapus kecuali solar mendapatkan subidi harga sebesar Rp. 1000,00. karena itu harganya menggikuti harga pasar dan kurs rupiah. Namun seharusnya disanalah ranah anggota dewan untuk menanyakan perihal alasan mengapa pemerintah menghapuskan subsidi BBM secara bertahap. Seharusnya anggota dewan bertanya ‘‘sanggupkah rakyak Indonesia menanggung beratnya hidup tanpa BBM subsidi dari pemerintah” bukannya malah menyiapkan hak angketnya untuk Menkumham. Ayo anggota dewan pilih rakyat ato pilih demokrasi??.

Seharusnya harga BBM tak perlu dinaikan seandainya korupsi dinegri ini bisa diberantas dan potensi kekayaan alam Nusantara di optimalkan. Masih ingatkah anda dengan pernyataan Prabowo Subianto dalam debat calon presiden tahun lalu “ ada potensi sebesar 5000 T yang bisa masuk kedalam APBN kita yang dapat di optimalkan”. Hal tersebut tentu karena kita tidak dapat mengoptimalkan potensi kita dan banyaknya mafia, koruptor dan pengemplang pajak. Tentu saja jika negri ini bisa memanfaatkan semua ptensi itu dan melenyapkan para mafia, koruptor dan pengemplang pajak , maka jangankan harga BBM bisa sangat murah namun pembangunan sektor pendidikan,kesehatan dan kesejahtraan rakyat bisa tercapai. Namun mungkin itu masih hanyalah sebuah mimpi dinegri ini.

Pilih Berantas Korupsi atau BBM  jadi Nonsubsidi

Janji pemerintah untuk mengguatkan KPK dengan menambah jumlah penyidik KPK nampaknya belum akan terealisasikan. Jangankan menambah jumlah penyidik KPK yang terjadi saat ini malah sebaliknya. Kabar mengenai penagkapan ataupunpenetapan tersangka korupsi saat ini mulai sepi terdengar pasca conplict yang terjadi antara KPK-POLRI. Pemerintah menyuruh KPK untuk lebih mementingkan pencegahan korupsi daripada penangguangannya. Niat baik pemerintah memang harus didikung namun jika hanya niat baik tanpa upaya nyata dengan menambah jumlah penyidik KPK, niat baik itu hanya akan jadi upaya untuk menambah kesibukan KPK.

Jika saja pemerintah mau dengan sungguh-sungguh menyatakan deklarasi perang terhadap para koruptor, bukannya memberikan angin segar bagi mereka dengan wacana pemberian remisi terhadap terpidana korupsi yang sarat dengan kemungkinan penyogokan oleh para koruptor untuk mendapatkan remisi. Jika presiden bisa tidak memberi ampun kepada terpidana mati kasus narkoba, kenapa presiden mau memberikan angin segar bagi para koruptor. Dua hal tersebut terlihat sangat kontradiktif karena kedua hal tersebut sama-sama merupakan extraordinary crime.

Marilah kita menggambil pelajaran dari keruntuhan-keruntuhan kerajaan pada zaman kuno seperti Roma dan Sparta. Roma runtuh karena korupsi sedangkan Sparta hampir runtuh karena korupsi. Jadi apakah kita mau menunggu hingga bangsa ini runtuh karena korupsi?

Bayangkan jika saja koruptor dan mafia dalam sektor ESDM dapat diminimalkan maka harga BBM tak perlu semahal ini. Dibutuhkan transparansi dari pemerintah untuk mewujudkan good governence. Mari bandingkan harga pertamax plus di negara tetangga Malaysia seharga Rp. 5.500,00(sumber kabar pasar TVOne) di negri sendiri harganya lebih mahal, tentu saja hanya pemerintah yang tahu kenapa bisa terjadi perbedaan harga seperti itu.

Jum’at tanggal 28 maret 2015 pemerintah melalui situs kementrian ESDM menggumumkan kenaikan BBM jenis solar dan premium sebesar RP. 500,00. Kenaikan harga BBM di picu oleh kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah terhadap USD. Wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan . Pernyataan wapres memeang benar tentang harga pertamax yang naik turun, namun pertamax tidak dipakai oleh kalangan industri kecil dan transportasi.

Kondisi naik turunnya harga BBM ini berdampak langsung pada sektor transportasi. Salah satunya Dampak kenaikan harga BBM langsung dirasakan oleh para sopir angkutan umum di Mataram NTB. “kalo harga bensin turun penumpang pada buru-buru ongkosnya diturunin, nah kalo kita ngak mogok buat demo, ongkosnya gak bakalan naik kalo harga bensin naik” ungkap Hisyam seorang ketua organisasi supir angkot diwilayah setempat. Meskipun naiknya BBM hanya RP.500,00 namun dampaknya cukup terasa oleh para sopir di kawasan Mataram NTB, passsalnya selisih biaya operasionalnya dari dan sebelum BBM di naikan mencapai RP. 40.000,00.

Flukuatifitas harga BBM saat ini “sedikit” membinggungkan masyarakat kalangan menengah ke bawah. Pasalnya kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga kebutuhan pokok lain, sedangkan penurunan harga BBM tidak berimbas setara dengan penurunan harga sebelum BBM naik bahkan penurunan harga kebutuhan pokok hampir tidak terjadi. Hal ini membuat daya beli masyarakat menurun, akibatnya omset yang didapatkan pedagang jadi berkurang. Kenaikan harga BBM meskipun hanya RP. 500,00 namun berdampak pada kenaikan harga komoditas seperti cabai hingga puluhan ribu.

Hal yang tak jauh berbeda dirasakan oleh para nelayan. Para nelayan menggeluhkan kenaikan harga solar. Mereka menyatakan bahwa modal melaut tak sepadan dengan hasil tangkapan yang di dapat terlebih karena saat ini lautan juga tidak bersahabat. Hal tersebut dikhawatirkan oleh para konsumen ikan akan menimbulkan kenaikan harga terhadap komoditas ikan.

Keputusan pemerintah untuk menaikan dan menurunkan harga jual BBM sesuai harga ke ekonomian dengan mengacu kepada harga jual minyak dunia dan nilai tukar Rupiah dinilai terlalu cepat. Pasalnya evaluasi perubahan harga BBM hanya dilakukan dalam kurun waktu 2 pekan saja dan ditambah waktu eksekusinya mencapai sepekan saja. Jadi kurang dari sebulan harga BBM menggalami fluktuasi harga. Hal ini menyebabkan para penggusaha kecil dan menenggah harus memutar otak jika harga BBM kembali di naikan, karena mereka harus memikirkan bagaimana menunjang perubahan biaya operasional mereka.

Saat ini anggota DPR sedang membahas hal tersebut dan berupaya untuk memberikan masukan kepada pemerintah. namun apakah pemerintah akan menggikuti saran dari anggota dewan yang terhormat atau pemerintah tetap akan berjalan pada haluannya saat ini. Pada akhirnya pemerintah memang seharusnya berjalan lurus sejalan dengan anggota dewan karena negara ini memuja sistem musyawarah mupakat, jadi pemerintah harus mengikut sertakan DPR dalam keeputusan-keputusan yang bersifat kritis bagi bangsa ini.

Kordinasi antara pemerintah dengan anggota dewan dalam pembuatan keputusan di sektor kritis sangatlah penting karena DPR merupakan cerminan dari rakyat dan mereka mewakili rakyat serta memegang aspirasi rakyat. Jadi jika presiden tidak menatap DPR dan melibatkan mereka dalam pembuatan keputusan di sektor kritis maka sama artinya dengan pemeerintah tidak melihat rakyatnya saat memutuskan.

_Sri Ayu Martini _




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline