Indonesia adalah negara yang indah dan kaya akan kebudayaan masing-masing daerah. Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas yang menjadi identitas dan nilai filosofis berdasarkan kearifan lokal masyarakat. Salah satu provinsi yang mempunyai berbagai macam budaya dan tradisi adalah provinsi NTB yang terdiri atas tiga suku yaitu suku Sasak, Samawa dan Mbojo. Masing-masing suku memiliki tradisi dan budaya yang menjadi ciri khas antara suku yang satu dengan suku yang lain. Salah satu tradisi yang masih terus dilestarikan oleh masyarakat suku sasak adalah tradisi perang timbung. Mendengar kata perang, pasti yang terlitas dibenak kita adalah perselisihan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Akan tetapi perang yang dilaksanakan di daerah Pejanggik ini sangat berbeda dari perang pada umumnya. Bagaimana tidak, biasanya dalam perang akan menggunakan senjata untuk melawan musuh. Hal ini berbeda dengan perang yang dilaksanakan di desa Pejanggik. Pemuda saling serang tanpa menggunakan senjata melainkan timbung sebuah jajanan yang dibuat dari ketan.
Sejarah Perang Timbung
Dalam pelaksanaannya perang timbung dilaksanakan sekali dalam setahun, tepatnya di hari jumat pada bulan keempat penanggalan suku sasak. Perang timbung sudah dilaksanakan sejak kerajaan Datu Mas Pemban Aji Meraja Kusuma (Datu Mas Pemban Aji). Pada saat itu Datu Mas Pemban Aji mengalami mimpi buruk, lalu Ia meminta kepada salah satu petinggi kerajaan untuk menafsirkan mimpi buruk yang dialaminya. Tafsir mimpi buruk tersebut menandakan konflik yang akan terjadi dikalangan petinggi kerajaan. Untuk menghindari hal tersebut, penafsir mimpi memberikan saran untuk melakukan penumbalan. Datu Pemban Aji terkejut dan mengaitkan penumbalan dengan adanya nyawa yang harus dikorbankan. Penafsir mimpi menjawab bahwa penumbalan tersebut bukan mengorbankan nyawa melainkan membuat suatu acara untuk menolak bala. Datu Pemban Aji setuju dan bermusyawarah dengan para petinggi kerajaan disepakatilah acara menolak bala dengan melaksanakan perang timbung. Berdasarkan sejarah ini, Mayarakat pejanggik selalu melaksanakan perang timbung sebagai penolak bala dan mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Tahapan perang timbung
Perang timbung melalui serangkaian tahapan seperti tahap persiapan berupa musyawarah dan menyiapkan perlengkapan. Selanjutnya tahap pelaksanaan berupa pengambilan air suci (air sereat) di sumur Sembilan dan pembacaan babat Lombok, pembacaan barzanji sekaligus serakalan, dan pembazaan doa sekaligus zikiran. Adapun tahap penutup terdiri atas membasuh muka dan pemberian tanda di kening (seraop dan sembek) dan acara puncaknya berupa perang timbung yakni acara saling melempar menggunakan jajan timbung.
Tradisi perang timbung memiliki hubungan yang erat dengan konsep tri hita karana yaitu menjaga hubungan dengan Tuhan
Konsep ini tercermin dari tujuan diselenggarakan perang timbung yakni sebagai acara penolak bala untuk menghindari cobaan dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Agar masyarakat Pejanggik tetap diberi kelancaran dalam kegiatan bertanam yang akan dilakukan masyarakat setelah pelaksanaan perang timbung. Selain itu, praktik untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Tuhan terlihat dari serangkaian tahapan yang dilakukan sebelum pelaksanaan perang timbung berupa berkomunikasi dengan Tuhan melalui kegiatan beribadah dengan ketentuan Al-Qur'an dan Al Hadits, Beribadah merupakan simbol suci yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Serangkaian ibadah yang dilakukan pada acara perang timbung seperti:
Dzikir
Setelah salat jumat air sereat yang telah didiamkan selama satu malam di Bale beleq diarak menuju makam Serewa, kemudian dilaksanakan acara zikir yang dipimpin oleh seorang mangku. Dzikir sebagai salah satu simbol untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Dalam perang timbung dzikir dilakukan sebagai bentuk permohonan agar terhindar dari bahaya, dan ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
Barzanji dan Serakalan