Lihat ke Halaman Asli

Otonomi Daerah Berbasis NSPK

Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengantar

Pada tanggal 30 September 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensahkan Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terdiri dari 27 bab mencakup 411 pasal. Undang-undang ini telah mengalami 2 (dua) kali perubahan, yaitu dengan UU No. 2 Tahun 2014 dan UU No. 9 Tahun 2015. Namun demikian, sebagian besar substansi UU No. 23 Tahun 2014 tidak banyak berubah.

Meskipun undang-undang ini membuat perubahan yang sangat signifikan atau bahkan fundamental tentang konsep otonomi daerah, namun masih sepi dari wacana, publikasi ataupun perdebatan. Oleh karena itu, penulis terdorong untuk mengangkat masalah ini melalui media Kompasiana ini.

Model Baru

Meskipun UU ini disebut UU Pemerintahan Daerah, namun UU ini mengatur tentang Presiden hingga desa. Beberapa hal mendasar tentang penyelenggaran negara dan pemerintahan juga diatur, sebagai contoh tentang Pembagian Wilayah Negara (Pasal 2 s/d pasal 4), pembagian urusan pemerintahan dengan kategori yang berbeda dengan UU Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 32 Tahun 2004). Kategori urusan pemerintahan tersebut dibagi menjadi urusan absolut dan urusan konkuren. Urusan konkuren terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Diskursus daerah kepulauan juga telah diakomodasi oleh UU No. 23 Tahun 2014 ini. Konsepsi daerah kepulauan itu diatur dalam bab V tentang "Kewenangan Daerah Propinsi di Laut dan Daerah Propinsi yang berciri Kepulauan".

Masih banyak hal baru lainnya dalam UU ini, mengingat UU ini juga sekaligus mencabut berlakunya UU No. 32 Tahun 2004. Satu hal baru yang ingin penulis kemukakan di sini adalah tentang konsepsi otonomi daerah itu sendiri. Konsepsi otonomi daerah yang seluas-luasnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dirumuskan secara "baru" oleh UU ini. Rumusan maupun unsur-unsur baru otonomi daerah dalam UU ini antara lain : 1). Corak kesatuan pemerintahan Nasional nyata tercermin dari segi isi UU ini yang memuat kewenangan Presiden hingga Desa; 2). Pengaturan kewenangan otonom berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria; 3). Pembagian urusan pemerintahan konkuren secara tegas dan kaku.

Gaya Lama

Di tengah tantangan global dan regional dewasa ini, kebijakan politik penyelenggaraan otonomi daerah yang diarahkan menjadi kesatuan dengan Pemerintahan Nasional adalah hal yang tepat. Namun kebijakan itu tidak dapat diterjemahkan sebagai diskursus penguatan rezim strong Government mengingat pemerintahan Indonesia dewasa ini tidak berada pada ruang sosial yang sama seperti ketika rezim orde baru. Saat ini partisipasi publik pihak private sector maupun civil society sudah tak dapat dikekang seperti jaman orde baru.

UU ini juga mengarusutamakan good governance, sebagaimana tercermin dalam penegasan rumusan untuk adanya norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan. Terkesan bahwa penyusunan UU No. 23 Tahun 2014 ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah pemerintahan yang kuat dengan tata kelola yang baik (strong government in a good governance). Rumusan Pengaturan kewenangan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren terdapat dalam Pasal 16. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.  Selanjutnya NSPK tersebut akan menjadi pedoman penyelenggaraan urusan konkuren atau urusan bersama yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan daerah. Selain NSPK menjadi pedoman, pembagian urusan pemerintahan pun telah diatur secara tegas dan ketat melalui Pasal 15 dan dilengkapi lampiran matriks kewenangan yang mengikat sebagai norma.

Ketentuan pasal 15 dan 16 tersebut menjadikan daerah kabupaten/kota seakan berada dalam kerangkeng empat lapis, yaitu : 1). matriks kewenangan yang sudah diatur oleh UU; 2). NSPK yang akan disusun oleh Pemerintah Pusat; 3). Tindak lanjut pengaturan kewenangan daerah yang disusun oleh Pemerintah Propinsi; dan yang paling konkrit 4). Tuntutan masyarakat setempat. Ibaratnya, Pemerintah Kabupaten/Kota seperti seorang anak kecil yang menunggu di pojokan sempit pada ruang berdinding lapis empat. Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) memiliki keleluasaan menetapkan kebijakan daerah. Yang dimaksudkan sebagai kebijakan daerah adalah Perda, Perkada dan Keputusan Kepala Daerah. Namun lagi-lagi, kebijakan daerah itu pun harus berpedoman kepada NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (cfr. Pasal 17).

Jika diteliti lebih jauh, ketentuan dalam Pasal 15 yang memberlakukan matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat, Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota kita akan melihat bahwa sebagian urusan pemerintahan yang semula menjadi kewenangan kabupaten/kota diambil alih oleh Daerah Propinsi. Pembagian urusan ini sangat rigid, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 15 ayat (4) bahwa pembagian urusan tersebut tidak dapat diubah kecuali dengan peraturan pemerintah. Pola desentralisasi yang menitikberatkan kewenangan pada daerah Propinsi ini mirip otonomi daerah gaya lama sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1974 namun dengan model baru.

Bagaimana kira-kira "citarasa" undang-undang ini bagi pemerintah propinsi dan kabupaten/kota? Kita akan bahas dalam kesempatan berikutnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline