credit foto : members.chello.nl
Para Bapa Bangsa Kita mengenal konsep Country Well Being tetapi Belum Mengenal A Three Layers of Governance
Dalam tulisan saya sebelumnya (di sini), saya mencoba menghubungkan makna kemerdekaan dengan konsep good governance, yaitu bagaimana sebuah kemerdekaan dimaknai sebagai kontribusi tiga pilar negeri : negara (state), masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat korporasi (private sector). Tiga pilar tersebut merupakan entitas-entitas sebuah negeri yang sering disebut sebagai a three layers of governance, sebuah konsep ketatanegaraan dan ketatapemerintahan yang berasal dari Kanada dan telah diadopsi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.
Masih Enak Jaman Penjajahan?
Keluh kesah masyarakat sipil tentang kaburnya makna kemerdekaan, akan kita coba cari jawabannya dengan pendekatan good governance ini. Masyarakat sipil - secara individual - mengeluhkan tentang kebebasan, kesejahteraan, harga murah, pendidikan gratis dan seterusnya yang bersifat subyektif, personal dan kadangkala psikologis. Oleh karenanya masing-masing orang memiliki tolok ukur yang berbeda. Masyarakat korporasi memiliki harapan akan makna kemerdekaan yang berbeda pula. Mereka menginginkan kemudahan investasi, tenaga kerja murah, insentif-insentif, deregulasi dan seterusnya, bahkan pada tingkat yang paling liberal mereka menginginkan negara tidak usah ikut campur tangan. Laba sebesar-besarnya dan mekarnya corporate capitalism menjadi orientasi masyarakat korporasi. Sementara itu, negara yang direpresentasikan oleh berbagai lembaga penyelenggara negaranya, memaknai kemerdekaan sebagai euforia politik untuk menggenggam kekuasaan. Paragraf dalam Naskah Proklamasi "Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan .d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama..." seperti tidak kunjung terjadi sehingga rakyat tetap merasa terjajah, bukan oleh bangsa asing tetapi oleh bangsa sendiri. Para penyelenggara negara masih dirasakan seperti para ambtenaar pada jaman kolonial Hindia Belanda.
Kemerdekaan Indonesia adalah Kemerdekaan Kebangsaan
Menjadi pertanyaan besar yang tak kunjung terjawab, sesungguhnya kemerdekaan itu milik siapa, untuk siapa dan oleh siapa? Rangkaian sejarah sejak Boedi Oetomo, Soempah Pemoeda hingga saat sebelum proklamasi memaparkan serentetan bukti bahwa perjuangan Indonesia adalah perjuangan menjadi sebuah bangsa. Proklamasi Kemerdekaan adalah klimaks perjuangan kebangsaan itu sehingga Proklamasi Kemerdekaan itu sekaligus merupakan proklamasi kemerdekaan kebangsaan Indonesia. Dari sini dapat ditemukan makna bahwa Kemerdekaan Indonesia itu milik bangsa Indonesia, untuk bangsa Indonesia dan oleh bangsa Indonesia.
Seperti telah penulis singgung dalam tulisan terdahulu (di sini) para bapa bangsa kita memiliki pendekatan pemikiran yang berbeda dengan para penemu konsep good governance dari Kanada itu. Para bapa bangsa kita melihat nusantara ini dalam dua entitas, yaitu bangsa dan negara sebagai sebuah totalitas yang tidak terpisahkan meski dibedakan. Kita menyebut "Indonesia" selalu dalam dua pengertian sekaligus, yaitu "bangsa Indonesia" dan "Negara Indonesia". Hubungan konsep bangsa dan konsep negara itu dapat kita lihat dalam naskah Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945. Namun demikian, hasil penelitian penulis tentang makna konsep "bangsa" ini sungguh abstrak, sedangkan konsepsi negara begitu kuatnya. Konsep bangsa ini bermakna politis, namun juga bermakna kultural, sehingga operasionalisasinya dalam tata negara dan tata pemerintahan menjadi tidak jelas. Sementara itu, karena kuatnya konsep "negara", maka operasionalisasinya mengarah kepada "strong government".
Kemerdekaan Kebangsaan sebagai Momentum Penegasan Komitmen Country Well Being
Konsep a three layers of governance melakukan pembedaan tetapi tidak melakukan pemisahan entitas-entitas sebuah negeri menjadi tiga (state, civil society dan private sector) dan meletakkan media massa sebagai katalisator. Dengan pembedaan tanpa pemisahaan seperti itu kontribusi, tanggungjawab dan tanggunggugat masing-masing entitas menjadi lebih jelas sehingga penataan dan pengaturannya pun menjadi jelas. Dalam kerangka pemikiran seperti inilah, penulis mencoba memaknai kemerdekaan itu. Kemerdekaan dimaknai sebagai suatu kondisi "country well being" yang menjadi tanggungjawab ketiga pilar itu (state, civil society dan private sector) dan dengan demikian juga harus dikontribusi dari ketiganya. Tanpa kontribusi dari ketiganya, maka kemerdekaan menjadi klaim-klaim sepihak demi sepihak yang tidak fair dan Indonesia akan terus tercabik-cabik dalam fragmentasi.