Lihat ke Halaman Asli

Rumah Ibadah = Rumah Bordil?

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_260793" align="alignleft" width="300" caption="sumber gambar : Kompas.com"][/caption] Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri maupun Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 8 dan no. 9 Tahun 2006 untuk mendirikan rumah ibadah memerlukan sejumlah tertentu pengguna rumah ibadah. Selain itu juga diperlukan sejumlah tertentu dukungan masyarakat. Misalnya kata "rumah ibadah" itu kita ganti saja dengan kata "kompleks pelacuran" atau "diskotik" atau tempat yang sejenis itu, maka aturannya akan menjadi sebagai berikut : "Untuk mendirikan rumah bordil, diskotik atau tempat maksiat lainnya diperlukan daftar KTP/Kartu Keluarga pengguna tempat itu sekurang-kurangnya.....orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa dan RT setempat.  Selain itu juga harus didukung oleh masyarakat sekurang-kurangnya .....orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa dan RT setempat".  Dengan aturan itu mungkin masyarakat kita akan lebih menikmati manfaat SKB atau PBM tentang pendirian tempat maksiat. Bagi para penyelenggara tempat maksiat penerapan syarat seperti itu memang akan menyulitkan mereka untuk melangsungkan "usahanya". Sayang sekali, di negeri kita ini syarat pengguna minimal dan pendukung minimal itu tidak diberlakukan di kompleks pelacuran, diskotik atau tempat maksiat, tetapi malah diberlakukan untuk mendirikan rumah ibadah. Para pengguna tempat maksiat itu kira-kira tergolong jumlah kecil atau minoritas. Pendukungnya pun kira-kira juga minoritas. (Nb : kalau perkiraan saya ini salah mohon dimaafkan). Tetapi kelompok minoritas jenis ini (minoritas pekat) lebih mudah mendirikan "rumah bordilnya atau diskotiknya" dibandingkan dengan kelompok minoritas agama mendirikan rumah ibadahnya. Ada pula alasan agar pendirian rumah ibadah itu tidak mengganggu penduduk sekitar. Apakah orang nasrani yang beribadah sambil bernyanyi itu mengganggu? Mungkin saja. Apakah umat Islam yang sembahyang dengan menggunakan loudspeaker itu mengganggu? Mungkin juga. Apakah minoritas pekat yang berada di tengah masyarakat itu mengganggu? Seharusnya begitu. Sayangnya, maaf lagi-lagi sayangnya, masyarakat sering tidak terlalu merasa terganggu dengan kelompok minoritas pekat ini. Apakah di masyarakat kita rumah ibadah statusnya lebih hina daripada rumah bordil atau diskotik? Mungkin logika saya yang kurang beres. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 41 ayat (1) Konstitusi RIS menyebutkan : Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui. Pasal 43 ayat (2) UUDS menyebutkan hal yang sama dengan bunyi pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Sedangkan Pasal 43 ayat (3) UUDS berbunyi : Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui. Pemberian sokongan berupa apa pun oleh penguasa kepada penjabat-penjabat agama dan persekutuan-persekutuan atau perkumpulan-perkumpulan agama dilakukan atas dasar sama hak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline