Ada pepatah ''hidup harus memilih''. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kepemimpinan itu mempunyai dua dimensi, yaitu managing dan communicating. Dalam forum atau wahana komunikasi seperti kompasiana ini, aspek managing dan communicating itu berimpit sehingga pengertian communicating-nya tetap ''mengkomunikasikan'' sedangkan pengertian managing-nya adalah communication managing atau menajemen komunikasi. Agenda setting dan ''infotaining'' [meng-infotainmen-kan sesuatu] termasuk bagian dari manajemen komunikasi ini.
Dalam konteks kompasiana, kepemimpinan [aspek managing maupun aspek communicating] itu ya dipegang oleh Pak Taufik H. Mihardja, Kang Pepih dan kawan-kawan itu. Mereka itu mempunyai ''wilayah kekuasaan'' di bidang komunikasi. Menyusun agenda setting dan meng-infotainmen-kan sesuatu itu adalah wilayah khususnya para jurnalis. Ini adalah salah satu pilihan kepemimpinan.
Presiden juga pemimpin. Aspek managing maupun communicatingnya juga ada pada kepemimpinannya. Bedanya dengan Pak Taufik, Kang Pepih dkk adalah karena aspek managing yang ada pada presiden itu menyasar kepada urusan tata negara dan tata pemerintahan. Jika presiden sibuk memenej tetapi kurang mengkomunikasikan maka kepemimpinannya akan kurang berdampak luas.
Sebaliknya jika ia sibuk mengkomunikasikan tetapi kurang memenej maka kepemimpinannya akan menyerupai kepemimpinan Pak Taufik, Kang Pepih dan kawan-kawan itu. Jika keadaan ini terjadi, wal hasil, rakyat memahami urusan tata negara atau tata pemerintahan seperti bagaimana mereka memahami infotainment atau berita. Partisipasi rakyat bukan lagi kepada aktivitas pembangunan, bela negara, brantas korupsi, atau ciptakan lapangan kerja tetapi partisipasi rakyat berupa ''aktivitas menonton'' dan ''aktivitas menyimak berita''. Apa yang disimak dan apa yang ditonton adalah aktivitas para pejabat negara. Para jurnalis memilihkan menu tontonan untuk khalayak lalu khalayak hanya menonton, berkomentar, menonton lagi, berkomentar lagi begitu seterusnya. Ini adalah pilihan kepemimpinan yang berupa gabungan antara kepemimpinan presiden dan kepemimpinan para jurnalis.
Jaman Presiden Suharto, para jurnalis seperti Kang Pepih dan kawan-kawan itu ''mau tidak mau'' condong mendukung kepemimpinan presiden. Mungkin saja pada jaman presiden lain, malah sang presiden yang ''dituntun'' oleh Kang Pepih dan kawan-kawan demi alasan popularitas.
Kolonel Adji Suradji itu juga mempunyai pilihan kepemimpinan, yaitu kepemimpinan militer. Aspek manajemennya tentulah menyasar kepada aktivitas militer, pertahanan dan bela negara. Pilihan kepemimpinannya bukan pada manajemen informasi/komunikasi. Komunikasinya adalah komunikasi untuk menunjang manajemen militer, pertahanan dan bela negara. Ini adalah pilihan dalam kepemimpinan militer.
Ketika membaca tulisannya di Kompas Senin 6 September 2010 berjudul Pemimpin, Keberanian dan Perubahan saya menangkap kesan bahwa sang kolonel ini keluar dari pagar militernya. Oleh karena itu, Adjie Suraji tidak cocok sebagai kolonel. Dengan kata lain, ia telah menggeser pilihannya dari kepemimpinan militer ke bentuk kepemimpinan lainnya. Mungkin ia lebih cocok sebagai pemimpin redaksi sebuah surat kabar atau majalah. Di sana ia bebas membuat agenda setting melalui ''Pojok Redaksi'' atau ulasan redaksional lainnya.
Dalam teori good governance, ada katalis yang ikut mempercepat [tetapi juga bisa memperlambat] terciptanya keseimbangan kekuatan antara negara, masyarakat sipil dan korporasi. Hasil penelitian beberapa ahli Good Governance di Kanada, pada beberapa negara katalis itu dijalankan oleh mass media sedang di beberapa negara lainnya katalis itu dijalankan oleh militer.
Mungkin sudah waktunya Adji Suraji yang militer itu berganti baju katalisnya, dari militer ke mass media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H