Lihat ke Halaman Asli

Primordial Absolutism [2]

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada tulisan sebelumnya, saya sudah mencoba merumuskan keadaan bagaimana Amerika Serikat membebaskan diri dari traditional absolutism, yang dalam hal itu adalah absolutism dari kungkungan kekuasaan terselubung kaum agamawan.

Bagaimana dengan Indonesia dahulu

Jika melihat sejarah Indonesia, perkembangan fisolofi social, politik dan ekonomi bergerak dari traditional absolutism yang disokong oleh feudalisme. Feudalisme yang dikembangkan oleh masyarakat asli Nusantara itu kemudian disusupi doktrin-doktrin maupun praktek-praktek yang dibawa oleh penjajah untuk melanggengkan kolonialisme mereka. Salah satu doktrin terpenting yang menguntungkan dan melanggengkan kolonialisme adalah doktrin domein verklaring yang dibuat oleh Pemerintah Belanda dan diterapkan di Hindia Belanda. Dengan doktrin domein verklaring itu, maka tanah-tanah yang orang Hindia Belanda tidak dapat membuktikan kepemilikannya menjadi Hak Negara, dalam hal ini hak Pemerintah Hindia Belanda.

Perpaduan antara feudalism dan kolonialisme itu tampaknya melahirkan faham baru yaitu elitism. Pemerintah kolonial bekerjasama dengan para raja-raja dan tuan tanah. Kedua belah pihak berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaan masing-masing. Bagaimana hak dan kedudukan rakyat, baik sebagai kelompok maupun orang per orang terkesan menjadi tidak penting bagi kedua belah pihak.

Elitisme inilah yang diperangi oleh para pemikir Indonesia hingga melahirkan faham republicanism . Menurut Iseult Honohan, Republicanism berkepentingan untuk memungkinkan warga Negara yang saling tergantung [interdependent] untuk berunding dan menyadari kebersamaan sebagai sebuah bangsa, memajukan kepentingan setiap warganya dan melindungi hak-hak warga. Republicanism Indonesia didasarkan kepada prinsip-prinsip universal, tetapi sekaligus mencerminkan kristalisasi dari prinsip-prinsip local. Prinsip-prinsip universal yang diadopsi itu adalah ketuhanan dan kemanusiaan. Kristalisasi prinsip-prinsip local itu adalah prinsip persatuan Indonesia, prinsip musyawarah/perwakilan dan prinsip keadilan social Indonesia. Prinsip-prinsip itu dirumuskan dalam Pancasila yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia.

Bagaimana di Indonesia Kini

Terabaikannya hak-hak rakyat baik sebagai kelompok maupun orang per orang akibat praktek elitism itu hendak dipecahkan dengan doktrin baru yang saya istilahkan dengan Republicanism Pancasila. Namun perkembangan doktrin Republicanism Pancasila ini sangat menyedihkan. Ia berkembang sangat lamban. Doktrin itu bukannya diperdalam dan dipertajam untuk kepentingan social, ekonomi dan politik tetapi malah menerima penolakan dan pengingkaran oleh berbagai elemen. Penolakan dan pengingkaran itu bukan hanya terhadap faham republicanism-nya saja tetapi juga penolakan kepada dasar dari republicanism itu sendiri. Uniknya, rujukan penolakan itu justru doktrin yang menjadi filsafat hidup bangsa Amerika yaitu liberalisme maupun doktrin yang pernah membelenggu Amerika, yaitu primordial absolutism.

Primordial absolutism di Indonesia sulit untuk dibicarakan, karena dikhawatirkan menimbulkan pertentangan SARA [suku, ras dan agama]. Namun jika tidak dibicarakan, kapan dan bagaimana keadaan ini dapat diatasi sehingga Indonesia mempunyai kepastian perkembangan social, ekonomi dan politiknya; apakah sebagai Negara agama, Negara Federal Kesukuan ataukah tetap sebagai Negara Kesatuan Republik berdasarkan Pancasila.

Praktek primordial absolutism ini tampaknya bertumpu kepada ‘’doktrin’’ right or wrong is my own group; benar atau salah, yang penting kelompok saya. Ia tampil seperti layaknya sebuah kelompok yang ke luar menerapkan kebebasan atau prinsip NIMBY [Not In My Backyard alias semau gue]. Kebebasan yang dianut tidak terhubung maknanya [tidak signifikan] terhadap kebebasan sebagai buah kemerdekaan kebangsaan. Kebebasan semacam itu melahirkan berbagai tindakan sesuka hati atau sewenang-wenang tanpa standard yang jelas, kecuali prinsip ‘’yang penting tidak merugikan kelompok saya’’. Ke dalam, praktek primordial absolutism melahirkan ekslusivisme. Ekslusivisme ini juga tidak terhubung maknanya dengan kesetiakawanan social sebagai bangsa yang merdeka sehingga menciptakan tirani yang melebihi kaum komunis atau NAZI Jerman dengan satu prinsip ‘’yang penting menguntungkan kelompok saya’’. Ekskulsivisme demikian itu potensial melecehkan hak asasi manusia, sekaligus menjadi lahan subur untuk tumbuhnya disintegrasi nasional. Dengan primordial absolutism seperti itu pelecehan Hak Azasi Manusia mudah terjadi demi kesetiakawanan group. Tirani mayoritas ataupun tirani minoritas terjadi demi memperjuangkan kelangsungan kelompok primordial. Pada saat yang sama komitmen sebagai satu bangsa makin ‘’jauh panggang dari api’’. Primordial absolutism ini menyeret mundur perjalanan bangsa Indonesia.

Tulisan terkait :

  1. Kebangsaan dan Demokrasi silakan klik di sini.
  2. Agama dan Demokrasi silakan klik di sini
  3. Diskriminasi SARA silakan klik di sini



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline