Lihat ke Halaman Asli

Taman Nasional Kutai yang Kian Meranggas

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_200443" align="alignleft" width="300" caption="Hutan Kaltim dalam Cuaca Remang-remang"][/caption] Dilihat dari pesawat, dalam suasana remang-remang karena cuaca mendung hutan di Kalimantan Timur tampak hijau, lebat berdaun. Namun ketika memasuki kawasan Taman Nasional Kutai (TNK), hijau yang tampak dari udara itu ternyata hanyalah dedaunan perdu atau pohon-pohon kecil dengan diameter kurang dari 30 cm. Salah satu pintu masuk kawasan TNK dari arah Kota Samarinda atau Kota Bontang ada di simpang tiga jalan yang mengarah ke wilayah Kab. Kutai Kertanegara-Kota Bontang dan Sengata Ibukota Kab. Kutai Timur.  Ada banyak outlet ke wilayah TNK, baik melalui darat maupun laut. [caption id="attachment_200455" align="alignright" width="300" caption="Outlet TNK yang Berada di Jalan Poros Bontang-Sengata"][/caption] TNK terbentang di 3 wilayah administrasi pemerintahan, yaitu Kab. Kutai Kertanegara, Kab. Kutai Timur dan Kota Bontang. Namun dari sisi kewenangan, TNK berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat. [caption id="attachment_200456" align="alignleft" width="300" caption="Jalan Poros Kaltim yang Membelah TNK"][/caption]

TNK terbelah oleh Jalan poros Kalimantan yang menghubungkan Kota Samarinda, Kota Bontang, Kab. Kutai Timur, Kab. Berau dan Kab. Bulungan dan dengan sedikit perjalanan melalui sungai/laut akan terus menuju Kota Tarakan. Keberadaan jalan poros serta banyaknya outlet untuk keluar-masuk TNK, baik melalui darat, laut maupun sungai menjadi penyebab semakin banyaknya aktivitas masyarakat di dalam TNK. Walhasil, TNK sekarang sudah tidak lagi mampu menyandang fungsi sebagai kawasan konservasi. TNK  pada tahun 1995 adalah seluas 198.629 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995. Luas tersebut kemudian direvisi menjadi 198.604 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 375/Menhut-II/1997. Namun luasan tersebut terus menyusut. Berita terakhir TNK hanya tinggal 4.500 Ha.

Fungsi konservasi TNK telah terdesak oleh berbagai kepentingan, baik kepentingan pemerintah, pengusaha maupun masyarakat.

Sepanjang jalan Bontang-Sengata menampakkan wajah TNK yang sudah meranggas. Berbagai kepentingan yang ada di TNK dapat dikenali dari adanya fasilitas umum, kantor pemerintahan kecamatan/desa, wilayah operasi PT. Pertamina EP Sengata, pusat-pusat aktivitas penduduk, bisnis bahan bakar minyak [APMS], pertanian dan berbagai aktivitas lain yang tidak menunjang fungsi TNK sebagai kawasan konservasi. Kerusakan semakin diperparah oleh para pelaku pembalakan liar, perambah hutan serta para pelaku bisnis batubara yang mulai mengincarnya.

Carut marut dan tumpang tindih kepentingan di TNK ini sudah berlangsung lama. Bahkan sepuluh tahun yang lalu Kompas pernah menulis kondisi TNK yang memprihatinkan itu (Kompas, 12/10/2000). Dapat kita bayangkan bagaimana kerusakan itu sekarang, sepuluh tahun setelah Kompas merekam kehancuran TNK. [caption id="attachment_200509" align="alignleft" width="300" caption="Bisnis BBM di TNK"][/caption] Dari sebuah menara pengawas yang nyaris roboh dapat disaksikan betapa mengenaskannya TNK. Sangat sulit mencari tahu siapa yang paling diuntungkan dengan kondisi TNK seperti sekarang ini. Kayu diambil oleh para pelaku illegal logging, fungsi konservasi tidak lagi ada, keanekaragaman hayati dan ekosistem TNK sudah tidak lagi mendukung fungsinya. Pemeritah daerah tidak dapat melakukan pengawasan maupun tindakan administratif yang nyata mengingat TNK adalah wewenang pemerintah Pusat. Profil TNK yang meranggas seakan menunjukkan bahwa ada kekosongan manajemen, atau sekurang-kurangnya kelemahan manajemen. Kelemahan ini justru menguntungkan para oportunis, baik pengusaha, oknum pemerintah ataupun penduduk dari luar TNK. Ulin sebagai kayu unggulan TNK sudah sulit ditemukan. Orangutan [Pongo Pygmaeus] yang dulu mudah dijumpai di jalan kini tak tampak batang hidungnya, bukan karena hidungnya yang pesek tetapi memang sulit ditemukan keberadaanya. Sepanjang perjalanan menyusuri TNK hanya menemukan perkampungan penduduk dan hutan yang sudah meranggas. Menyedihkan sekali. [caption id="attachment_200519" align="aligncenter" width="225" caption="Menara Pengawas yang Nyaris Roboh"][/caption] [caption id="attachment_200524" align="aligncenter" width="210" caption="Aktivitas Pembukaan Lahan di TNK"][/caption] [caption id="attachment_200533" align="aligncenter" width="300" caption="Salah Satu Outlet TNK menuju Laut"][/caption] [caption id="attachment_200530" align="aligncenter" width="180" caption="Hutan Meranggas [Sejauh Mata Memandang"][/caption] [caption id="attachment_200527" align="aligncenter" width="210" caption="Hutan TNK yang Meranggas"][/caption] Berita baiknya yaitu, kini apabila Anda sedang melintas di dalam TNK, Anda akan dengan mudah menemukan berbagai hasil pertanian seperti buah-buahan, umbi-umbian dan sayur-sayuran. Ah, seandainya si Pongo Pygmaeus masih ada mungkin buah, sayur dan umbi-umbian itu tak akan mudah ditemui. [caption id="attachment_200538" align="aligncenter" width="300" caption="Buah, sayur dan Umbi-umbian di Tepi Jalan TNK"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline