Lihat ke Halaman Asli

Deklarasi Pencinta Kupu-Kupu

Diperbarui: 19 Juni 2024   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemburu Kupu-Kupu (Sri NurAminah, 2016)

Angin dingin bertiup sangat kencang serasa meremukkan belulang. Lelaki itu berjanji menemuiku di sini, di tepi jalan dekat hutan seperti yang disampaikannya lewat ponselku dua hari yang lalu. Gerimis mulai turun, aku kelabakan mencari tempat berteduh supaya badanku tidak basah terkena air hujan.

Ingatanku melayang, mengingat kejadian beberapa bulan lalu yang membuat darahku menggelegak sampai ke ubun-ubun. Disini, di tepi jalan ini aku bertemu seorang bocah lelaki berbaju merah, senada dengan jaring serangga yang dibawanya. Badannya gemuk, dia membawa sebuah kantong plastik berwarna hitam. Di belakangnya mengikut beberapa orang anak lelaki bertubuh lebih kecil. Tampaknya anak lelaki gemuk itu adalah pimpinan kelompok. Saat aku menyapanya, bocah lelaki dan kawanannya berlari ketakutan bagai melihat kuntilanak di siang bolong. Mereka tunggang langgang dan menghilang tanpa bekas ke dalam rimbunan semak tepi jalan. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, tidak salah lagi mereka inilah kacung Pak Mane, pemilik toko cendera mata. Menurut cerita yang kudengar, Pak Mane membeli sekantong kupu-kupu berbagai jenis seharga seribu rupiah dan menjualnya kepada pengunjung berkali-kali lipat harganya dalam bentuk awetan kupu-kupu kering. Para bocah yang belum mengenal kejahatan dunia tentu sangat senang menerima lembaran rupiah untuk membeli aneka jajanan. Malah mereka diiming-imingi bakal diberikan uang pembeli sepeda  jika mampu menangkap kupu-kupu jenis langka yang mereka lihat fotonya dalam buku saku milik lelaki paruh baya itu. Di zaman sulit seperti ini, siapa yang tidak tergiur dengan lambaian lembar rupiah di depan hidung.

Dapat kamu bayangkan, betapa berbahayanya doktrin berlandaskan lembaran rupiah yang ditujukan kepada anak-anak di bawah umur. Bagaimana nasib kupu-kupu Bantimurung jika semua anak telah dicuci otaknya oleh Pak Mane supaya menangkap serangga itu dengan berbagai cara. Kamu pasti menangis jika melihat drama mereka mengeksekusi kupu-kupu buruannya. Serangga cantik nan gemulai itu dihilangkan nyawanya dengan cara ditusuk bagian dadanya memakai jarum pentul dan sayap lemahnya ditindih batu. Serangga malang itu dijemur sampai mati di bawah terik matahari. Setelah itu kupu-kupu dimasukkan ke dalam plastik bening untuk dijual kepada wisatawan pengunjung Bantimurung. Lambungku berontak hebat, air mataku berlinang membayangkan kekejaman itu terjadi secara terus menerus. Tidak ada yang mampu menghentikan kedzoliman yang mengantarkan pundi-pundi rupiah kepada pelakunya. Sebagai peneliti kupu-kupu, aku tidak mau serangga yang telah kupelihara dengan susah payah menjadi korban kebiadaban pemburu liar yang berkeliaran menabur horor di tempatku bekerja.

Sebuah motor berwarna hitam berhenti di hadapanku. Pengendaranya seorang lelaki kekar berkulit sawo matang dan membawa ransel. Langkahnya tegap menenteng helmnya sambil memamerkan senyum manisnya padaku.

"Sudah lama menunggu disini?" sapanya ramah. Aku mengangguk lemah, kurasakan kepalaku nyut-nyut setelah seharian mendata jenis kupu-kupu yang bermukim di hutan Karaenta. Di dalam mencapai validitas data, aku harus berjuang berebut space dengan monyet hitam endemik yang menjadi penguasa tunggal di tempat itu.

"Sebelum ke sini, aku mampir dulu ke tempat Astrid mengantarkan sampel serasah yang dimintanya kemarin. Untunglah hari ini tidak hujan sehingga aku bawakan sekarung sampel yang masih fresh."

Jleb...hatiku sontak beku mendengar nama Astrid disebut oleh Ilham si lelaki pengendara motor. Tiba-tiba kurasakan bulir panas yang tidak dapat kujelaskan darimana muasalnya saat kudengar nama Astrid. Batinku jejeritan menumpahkan kesal. Ada apa denganmu Mega? Mengapa kamu begitu kesal mendengar nama Astrid disebut oleh Ilham?

Suasana kaku merangkul kami seiring bergeraknya matahari menuju ke ufuk barat.

"Kakak akan mengantarku pulang?" tanyaku ragu. Sepasang bola mata hitam legam itu langsung memandangku bingung.

"Iyalah...sesuai janjiku kemarin, aku antar sampai ke rumahmu. Aku mau minta restu Mamakmu supaya diriku menjadi guardian angel putrinya yang rupawan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline