Lihat ke Halaman Asli

Mysterious Shake Hands

Diperbarui: 30 September 2023   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lapangan bulu tangkis (Sri NurAminah, Oktober 2022)

Satria mempunyai impian menjadi juara bulu tangkis seperti idolanya Rudy Hartono dan Liem Swie King. Nyaris setiap hari hal ini diceritakannya pada Emak yang jengah mendengarnya.

"Kalau mau menjadi juara, kamu harus serius menekuni hobi yang kamu sukai," suara parau Emak memecah keheningan dapur. Tangan keriputnya sibuk mengisi piring ceper dengan jajanan pasar berasa manis dan asin. Usaha kue Emak sedang lesu. Beberapa calon pelanggan ghosting padahal Emak telah memberikan tawaran harga terendah dengan pelayanan prima. Situasi keuangan global yang carut marut membuat aktivitas dapur Emak ikut meredup. Mendapat pesanan sepaket jajanan pasar setiap hari sudah merupakan anugrah tidak terhingga untuk Emak membiayai kehidupannya.

Walaupun situasi ekonomi sedang gonjang ganjing, semangat Satria bukan kerupuk yang melempem terkena angin. Karirnya sebagai pemain badminton kampung dimulai dari pemungut bola di gedung olah raga. Sikapnya yang sopan dan rajin membantu membuat Satria disukai  para bapak pensiunan yang menghabiskan waktu malamnya untuk bermain bulu tangkis. Uang tips dikumpulkannya dengan penuh disiplin sehingga Satria berhasil membeli sepasang raket murahan yang dapat dipakai bersama adiknya untuk berlatih bulu tangkis. Modal mereka bermain adalah semangat membara dan  memakai kok alias bola bekas hasil sedekah dari pensiunan yang baik hati. Kegembiraan Satria dan adiknya bernama Yatim harus terhenti saat bola mereka mendarat sempurna di atap seng yang tidak dapat dijangkau.

Suatu sore di musim kemarau. Angin bertiup sangat kencang menebarkan debu ke segala penjuru.

"Aku mau ikut ini Mak," Satria memperlihatkan selebaran pertandingan bulu tangkis yang telah tercabut dari tembol. Emak yang menjahit baju memandang skeptis wajah anaknya.

"Kamu sanggup? Pertandingannya bayar atau tidak?" datar sekali suara sang ibu.

"Tenang saja Mak, lombanya gratis. Maksudnya aku sanggup apanya Mak?" Satria balik bertanya pada ibunya.

"Berkacalah dahulu, lihat siapa lawanmu," Satria mengikuti jari tangan Emak menunjuk sebuah roman arogan dalam selebaran itu.

"Ini yang kumaksud, juara yang tidak tertandingi di daerah ini."

"Insya Allah aku siap Mak,"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline