Tulisan ini hanya cuplikan dari beberapa bagian buku Palagan Magelang (Novo Indarto, 2022 : 86 -- 91 ; 124 -- 203)
Banyak diantara kita yang melakukan tirakatan pada malam peringatan kemerdekaan, namun ada di beberapa tempat yang melakukannya di tanggal yang beda sesuai perjuangan rakyat lokal melawan penjajah seperti contohnya di Magelang.
Berikut cuplikan yang diambil tentang perjuangan tersebut.
*TRAGEDI TIDAR*
Hari itu adalah tanggal 25 September 1945, genap tujuh hari sejak Wing Commander Tull, komandan Rakyat Indonesia banyak yang melakukan tirakatan malam 17 Agustus 1945 namun tak banyak yang melakukannya di tanggal -- tanggal perjuangan lokal mereka. Sebutlah di Magelang, ada beberapa tanggal dimana terjadi peristiwa heroik yang kini tidak banyak yang masih mengetahuinya. Dahulu, rakyat Magelang rutin melakukaRAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) mendaratkan parasutnya di lapangan Tidar beserta 8 anak buah dan peti -- peti kayunya.
Kemarin, pergolakan besar telah dimulai. Pemuda melakukan aksi penempelan plakat merah putih di berbagai tempat jalur utama. Kempeitai yang berjaga di Hotel Nitaka melepas plakat dan merobeknya. Pemuda yang mengetahui kejadian tersebut sontak berduyun -- duyun mengepung hotel. Kempeitai ciut nyalinya. RAPWI tak berani merespon. Akhirnya R.P. Soeroso sang Residen Kedu memimpin rakyat Magelang melakukan konvoi keliling Magelang, mengepung markas Kempeitai, lalu menggeruduk rumah dinas Brigjen Nakamura (komandan tentara Jepang di Jawa Tengah). Karena tidak didapat penyelesaian, residen menyeru para pemuda untuk bubar dan menyiapkan diri guna melakukan pengibaran bendera esok paginya. Akan menjadi pengibaran merah putih pertama kali secara terbuka di Magelang. Pengibaran akan dilakukan di puncak Tidar pukul 05.00 WIB, dengan tujuan mendahului tentara Jepang yang biasa mengibarkan bendera Dai Nipon pukul 06.00 WIB.
Malamnya, suasana hening. Namun tidak ada yang tahu kalau di sebuah rumah di Meteseh seorang wanita menjahit bendera merah putih yang diambil dari bendera Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Wanita itu adalah Sitti Saemah, istri Raden Kolbioen Djojopramudjo (anggota Volksraad Magelang). Sebuah tiang telepon milik Kantor Telepon Magelang juga disiapkan jika diperlukan menjadi tiang bendera.
Pukul 04.00 pagi, awan tebal masih menyelimuti langit Magelang. Bendera telah siap. Masyarakat Magelang juga sudah siap. Sebagian membawa yari. Siswa sekolah dari tingkat dasar, menengah, dan atas hadir didampingi guru mereka. Tiang bendera yang dipakai akhirnya adalah tiang bendera dari bambu yang biasa dipakai Jepang. Tokoh yang disebut hadir pagi itu adalah Tartib Prawirodihardjo, Judodibroto, dan Soetedjo Atmodipoerwo (Kepala SMP Negeri Magelang). Yang ditunggu -- tunggu pun tiba. Pengibaran bendera merah putih dilakukan dengan lagu Indonesia Raya. Suasana sangat syahdu. Banyak warga yang meneteskan air mata, karena pengibaran bendera merah putih di puncak Tidar pagi itu merupakan simbolisasi kemerdekaan rakyat Magelang yang sangat berarti setelah sekian lama dikungkung penjajah.
Usai pengibaran bendera, sebagian membubarkan diri dan sebagian tak beranjak dari lokasi. Selain memperhatikan kibaran bendera merah putih yang baru pertama kali mereka lihat, mereka juga menikmati matahari terbit yang sangat indah menyeruak dari balik Merapi -- Merbabu sisi timur Kota Magelang. Di sisi barat, Gunung Sumbing mulai terlihat anggun menjulang seakan menyambut terpaan sinar matahari pagi. Gunung Tidar waktu itu hanya ditumbuhi ilalang sehingga masih memungkinkan pemandangan indah tersebut dinikmati secara leluasa. Kokok ayam hutan sesekali mengiringi pemandangan alam nan syahdu tersebut.
Tiba -- tiba, terdengar suara tembakan. Kesyahduan pun musnah sudah. Semua tegang. Sebagian bergegas mendekati sumber suara. Sebagian lagi tetap menjaga sang merah putih. Pengibaran bendera ternyata terlihat dari Markas Kempeitai di kaki Tidar sisi utara. Dua orang Kempeitai menyusul naik untuk menurunkan sang merah putih. Pemuda yang berpapasan turun menghalangi Kempeitai sehingga terjadi perkelahian. Namun, massa pemuda berduyun -- duyun turun bertambah banyak. Dua orang Kempeitai datang lagi untuk membantu temannya. Karena kalah jumlah, keempat Kempeitai itu lari kembali ke markas. Para pemuda mengejar dengan senjata seadanya. Kempeitai panik karena merasa markasnya diserang sehingga mereka menembakkan senjatanya meskipun pemuda masih berjarak 50 meter dari pagar markas. Akibatnya, 3 orang pemuda tewas seketika bersimbah darah, sementara 11 orang lainnya mengalami luka parah. Dua orang diantaranya meninggal 2 hari kemudian. Beberapa pemuda roboh bersimbah darah. Massa ternyata tidak takut namun justru bertambah beringas. Untung saja Residen Kedu R.P. Soeroso dan Kepala Kepolisian Kota Magelang Legowo datang melerai.
Korban meninggal dalam insiden ini adalah :
Koesni 25 September 1945
Djajus 25 September 1945
Soejoed 25 September 1945
Samad 27 September 1945
Slamet 27 September 1945
Untuk mengenang peristiwa Pengibaran Bendera dan tewasnya lima orang pahlawan tersebut, di kemudian hari di utara SMIP didirikan sebuah monumen. Adapun setahun setelah Tragedi Tidar, tepatnya tanggal 25 September 1946, Bung Tomo didampingi Gubernur Jawa Tengah, Residen Kedu, dan Walikota Magelang, datang ke puncak Tidar untuk meresmikan Tiang Bendera setinggi 15 meter :