Lihat ke Halaman Asli

Sri Rahayu

Menyukai literasi

Darah Bapakku Mengalir di Tubuhku

Diperbarui: 9 Juli 2022   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Lebaran haji akan datang besok pagi. Rasanya aku rindu pada orang tuaku. Ibuku yang sudah mulai menua dan rapuh tinggal sendiri di jawa serta almarhum bapakku yang sudah mendahului hampir 5 tahun lalu. 

Terasa masih seperti kemarin saat aku masih duduk di Sekolah Dasar. Yah lebih dari 30 tahun yang lalu aku alami dan masih sangat merindu yang mengharu biru. Bapakku adalah seorang pegawai negri yang tidak mempunyai jabatan di kantornya. 

Sangat bersahaja, sabar dan penyayang. Selalu berangkat kerja naik sepeda yang ada palang di atas kayuhnya (orang Jaya menyebutnya saat itu "pit lanang" Yang berarti pit = sepeda dan lanang = laki-laki). 

Sebelum berangkat kerja mengantarkan aku dan adik-adikku berangkat ke sekolah dulu. Adikku duduk di depan bapak di diatas palang sepeda diatas kayuhan, sementara aku dan satu adiku lagi di boncengan belakang. Indahnya waktu kecilku. 

Bapakku menyekolahkan kami di sekolah favorit yang mana di sekolah itu hampir semua orang kaya. Kalau kuingat sepertinya aku saja yang kurang mampu. Aku heran saja waktu itu mengapa bapakku tidak menyekolahkan aku di sekolah biasa saja. 

Tapi waktu itu kami tidak pernah memusingkan hal itu. Teman sebayaku yang nota bene anak orang kaya ternyata tidak ada yang sombong. Sering main ke rumahku juga dan aku juga sering nain ke rumah mereka. Bahkan aku sering dijajanin atau di kasih oleh-oleh kalau orang tuanya abis dinas luat kota.

Bapakku dengan santainya menyandarkan sepedanya disamping mobil dan motor orang tua teman-temanku yang mengantarkan teman-temanku juga. Bapak memastikan kami masuk ke kelas sebelum meninggalkan kami. Bapakku memang keren membentuk mental baja kami untuk tidak minder. Aku nggak tahu apa niatan bapak untuk menyekolahkan kami disitu. 

Mungkin ada sebersit doa buat kami waktu itu agar suatu saat pas kami dewasa akan mempunyai harta berlimpah yang barokah seperti teman - temanku. Secara buat makan aja kami masih agak kerepotan. Tapi masalah bayar sekolah tidak pernah telat.

 Sungguh jurang kesenjangan ekonomi sangat tajam di sekolah itu. Tapi bapak tidak pernah mempersoalkan hal itu. Bapak bilang manusia sama di hadaapn Tuhan. Yakinlah bahwa kalian mampu menerima pelajaran dengan baik disekolah itu.

Pernah suatu saat adiku yang paling kecil membawa tas sekolah merk presiden yang dikasih oleh temannya. Pas turun dari sepeda bapak pada suatu pagi, ada temen sekelas yang nyeletuk "presiden kok naik sepeda"

Aku yakin sih nggak ada niat mengejek. Ya itulah kenyataan yang membuat mental kamu kuat untuk tidak baperan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline