Umat manusia jauh sebelum mengenal yang namanya agama, mereka telah merumuskan pedoman hidupnya masing-masing. Menurut pandangan Islam setiap manusia yang lahir di muka bumi ini dalam keadaan fitrah yakni asal kejadian yang suci dan murni, fitrahnya beragama, mengakui dan bersaksi keberadaan Sang Maha Pencipta.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an;
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui," (Q.S. Ar-Rum: 30)
Yang dimaksud dengan 'fitrah Allah' pada ayat ini adalah ciptaan Allah. Melalui ayat ini dapat dipahami bahwa manusia dilahirkan dengan naluri keimanan kepada Allah dan siap menerima Islam dalam penciptaannya. Manusia menurut fitrahnya telah beragama, mengakui dan bersaksi bahwa Allah adalah tuhannya. Maka kalau ada orang yang tidak beragama tauhid, sesungguhnya itu tidak sesuai fitrahnya.
Kearifan manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lainnya sudah ada sejak zaman dahulu, mulai zaman pra sejarah. Kearifan ini merupakan perilaku positif manusia yang bersumber dari adat istiadat, budaya, agama/kepercayaan, dan juga apa yang menjadi petuah nenek moyang. Relasi yang terbangun secara alamiah ini merupakan bentuk adaptasi manusia dengan lingkungan sekitarnya, kemudian berkembang menjadi suatu tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Kemudian tradisi ini tetaplah ada hingga munculnya Islam di Indonesia. Tradisi itu telah berabad hidup di tengah masyarakat Indonesia. Akan kah Islam sebagai agama yang masuk belakangan menganggap warisan tradisi itu hal yang buruk?
Kita semua tahu bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan keburukan, semua agama mengajarkan cinta kasih, perdamaian, kerukunan, kerjasama, saling tolong menolong, dan hal-hal baik lainnya. Begitu pun halnya dengan adat istiadat dan budaya yang ada di bumi nusantara ini. Oleh karena itu kita percaya bahwa semangat tersebutlah yang mengilhami lahirnya kearifan lokal suatu daerah demi menjaga kelestarian alam dan lingkungan juga relasi antar manusia.
Mungkin itulah mengapa Wali Songo ketika menyebarkan Islam di Indonesia lebih memilih pendekatan diri kepada masyarakat melalui pendekatan kebudayaan sehingga Islam sebagai akidah baru bisa diterima oleh masyarakat Indonesia pada saat itu. Metode dakwah Wali Songo tidak menghabisi tradisi, tradisi lama yang baik tetap diimplentasikan dalam panggung sosial kemasyarakatan, kalau ada tradisi yang bertentangan dengan syariat maka substansinya diganti hal-hal yang sesuai dengan syariat Islam.
Namun akulturasi Islam dan budaya lokal sebagaimana yang telah dilakukan oleh Wali Songo pada periode awal dakwah Islam di Indonesia dituding menyebabkan desakralisasi, deislamisasi dan distorsi akidah. Para penceramah fundamentalis dengan gamblang memberikan pernyataan bahwa maulid itu bid'ah, haul kyai bukan tradisi Islam, nyadran bentuk kesyirikan pun hal nya dengan ziarah kubur. Sebagai pendukung argumennya, mereka mengutip ayat Al-Qur'an dan hadist. Pada akhirnya mereka menganggap bahwa syariah Islam sudah tercemar oleh tradisi dan meyakinkan umat bahwa ini merupakan tugas bersama untuk memurnikan kembali sakralitas Islam.
Padahal jika kita berpikir obyektif, apa yang dituduhkan oleh kaum puritan diatas salah kaprah. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa ritual atau ekspresi keislaman khas Nusantara yang ada sekarang ini sudah diakuisisi oleh Islam. Kebudayaan lokal hanya sebatas bungkus/kemasan saja tapi tidak hakikat atau substansinya. Adaptasi kearifan lokal oleh Islam pada periode awal (Wali Songo) yakni sebatas simbol bukan wilayah ibadah apalagi akidah.
Justru agenda pemurnian Islam (Islamic purification) yang digembor-gemborkan oleh kaum puritan ini dalam perkembangannya telah melahirkan sejumlah problem karena puritanisme keagamaan cenderung mengingkari pluralitas agama, apalagi ditambah pendekatan kekerasan atau teror. Maka banyak pihak menganggap bahwa puritanisme sebagai akar ekstremisme dan terorisme. Hal ini menyebabkan wajah Islam di Indonesia cenderung garang.