Di Indonesia, 20 Mei merupakan hari kebangkitan nasional. Hari ini untuk memperingati kebangkitan masyarakat Indonesia ketika itu, untuk bangkit melawan penjajah, bangkit untuk melawan kebodohan, dan bangkit untuk bersatu. Kebangkitan yang dipelopori oleh kaum muda ini, menjadi titik awal kebangkitan Indonesia. Melalui organisasi Boedi Oetomo, masyarakat Indonesia mulai aktif berorganisasi, aktif berargumentasi dan aktif memperkuat literasi.
Seperti kita tahu, Indonesia hidup dalam masa penjajahan selama ratusan tahun. Karena lamanya tersebut, membuat masyarakat tidak bisa mendapatkan haknya secara benar. Salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pembelajaran. Hanya kelompok tertentu saja yang bisa mengenyam bangku pendidikan. Sementara mayoritas masyarakat, masih jauh dari asupan pendidikan. Tak heran jika pola pikir masyarakat ketika itu, belum sepenuhnya maju.
Namun masyarakat Indonesia tidak ingin hidup terus di masa penjajahan. Masyarakat harus bisa merdeka dan terbebas dari penjajahan. Setelah berdirinya Boedi Oetomo pada 1908, muncullah berbagai macam organisasi seperti Syarikat Dagang Islam, lalu ada Syarikan Islam dan banyak lagi organisasi modern lainnya. Tak hanya organisasi, tokoh-tokoh muda Indonesia juga mulai banyak bermunculan. Surat kabar juga mulai bermunculan, membuat penyebaran informasi mulai mudah.
Dalam konteks sekarang, di tahun 2024 ini, tentu saja literasi masyarakatnya sudah jauh lebih baju dibanding dengan masa penjajahan. Namun, jika dibandingkan dengan negara lain, tingkat literasi masyarakat Indonesia saat ini masih jauh tertinggal. Budaya baca di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan data Unesco, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.
Disisi lain, meski budaya baca rendah, banyak masyarakat yang begitu aktif di dunia maya. Netizen Indonesia begitu cerewet berkomentar tentang ini atau itu. Banyak juga yang tidak berlandaskan pada data yang valid. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikal, untuk menyusupkan provokasi dan propaganda radikalisme di dunia maya. Mereka terus melakukan provokasi dengan cara apapun, dan dalam kondisi apapun. Salah satu yang mereka lakukan adalah dengan cara memanfaatkan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat.
Dulu, kebencian didadasarkan atas nama agama. Pihak yang berbeda agama dengan mayoritas dianggap sesat. Bahkan tak jarang mendapatkan label kafir. Ketika dimaknai kafir, mereka pun juga memaknai boleh melakukan perbuatan yang diskriminatif. Pemahaman yang sesat ini terus berulang dan berulang.
Apalagi provokasi kebencian ini juga dibarengi dengan hoaks alias berita bohong. Kelompok ini juga memproduksi berita bohong, untuk membuat masyarakat bimbang. Tak tanggung-tanggung, informasi yang direduksi adalah pemahaman ayat suci. Akibatnya, seseorang yang masih ingin belajar agama, berpotensi salah dalam menafsirkan, hanya karena penyebaran informasi yang menyesatkan tentang agama.
Sudah terlalu banyak provokasi kebencian di media sosial. Sudah terlalu banyak cacian, hujatan, dan perlakuan diskriminatif di sekitar kita. Sebagai generasi penerus, mari bangkit melawan. Jangan hanya diam melihat provokasi kebencian atas nama apapun. Jangan hanya diam melihat penyebaran berita bohong. Mari bangkit melawan dengan menyebarkan pesan perdamaian, dengan menyebarkan kearifan lokal. Mari gunakan semangat kebangkitan nasional, untuk terus melawan provokasi kebencian. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H