Diantara kita mungkin masih ingat seorang wanita bercadar, yang ditangkap di depan Istana Negara. Setelah digeledah ternyata ditemukan pistol di dalam tasnya. Setelah menjalani pemeriksaan, wanita tersebut merupakan simpatisan HTI, yang sering mengunggah propaganda khilafah di akun media sosialnya.
Usai penangkapan wanita tersebut, di media sosial ramai mengenai stigmatisasi Islam, mendiskreditkan Islam dan segala macamnya. Pertanyaan sederhana, kenapa selalu seperti ini polanya? Ketika ada penangkapan seseorang yang dianggap Islami, selalu dianggap menjelekkan Islam.
Dan ternyata, berdasarkan pemberitaan media massa, niat wanita tersebut ke istana negara karena ingin bertemu dengan presiden Joko Widodo. Tujuannya adalah ingin memberitahukan perihal khilafah. Apa yang bisa kita jadikan pembelajaran?
Ternyata masih saja ada pihak-pihak yang salah dalam memahami agama. Masih saja ada pihak yang menjadi simpatisan HTI, sebuah organisasi yang dilarang oleh pemerintah karena terus mengusung konsep khilafah, yang dinilai tidak sesuai dengan karakter budaya Indonesia.
Ini menunjukkan bahwa propaganda tentang radikalisme dan khilafah masih terus terjadi di media sosial. Karena itulah menjadi tugas kita bersama, untuk memberikan pemahaman yang benar. Para tokoh agama sebaiknya juga tidak terlibat dalam perdebatan, yang bisa membuat umat bingung. Khilafah jelas tidak relavan diterapkan di Indonesia. Mari saling menghargai dan menghormati antar sesama.
Konsep khilafah bertentangan dengan karakter masyarakat Indonesia yang multi kultur. Ingat, dari Sabang hingga Merauke terdiri dari banyak masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Kaum radikalisme yang mengusung khilafah, selalu mengklaim dirinya paling benar.
Dan menilai orang lain sebagai pihak yang salah. Perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini, semestinya tidak disalahgunakan dengan menyebarkan provokasi.
Indonesia sudah final dengan dasar negara yang diusungnya, yaitu Pancasila. Lima sila yang menjadi dasar negara ini merupakan nilai-nilai yang lahir dan tumbuh dari masyarakat Indonesia. Nilai tersebut bukanlah adopsi dari budaya luar.
Dan karena lahir dari budaya masyarakat, sudah tentu pasti bisa diterima di masyarakt yang majemuk ini. Dan terbukti, dengan bhinneka tunggal ika, keberagaman itu bisa berdampingan dalam harmoni. Antar sesama bisa saling melengkapi, saling membantu dan saling menghargai.
Namun, dengan maraknya propaganda radikalisme di media sosial, membuat banyak orang yang menjadi korban. Perempuan bercadar di depan istana itu hanyalah salah satu dari masyarakat, yang menjadi korban provokasi radikalisme di media sosial.