Dalam satu dekade ini, banyak sisi dari kehidupan kitga yang bisa lepas dari politik identitas. Dalam sejarahnya, kemungkinan pada masa peralihan Orde Baru ke Masa Reformasi dilanjutkan reformasi awal, ada kekosongan ideologi kebangsaan Indonesia. Hal ini karena pada masa Orde Baru, pemimpin masa itu selalu menerapkan respresif dalam setiap keputusannya termasuk bagaimana Pancasila diajarkan di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari. Mau tak mau Pancasila bertone negatif dan ideologi transnasional yang membawa bibit radikalisme mulai masuk dan menampakkan diri ke Indoensia.
Karena Pancasila seakan melekat dengan Orde Baru dan bertone negatif, maka para pemimpin negara pada masa awal reformasi tidak menekankan ideologi Pancasila sebagai ideologi dasar dan penting bagi bangsa Indonesia. Pemerintah merasakan itu dan mulai bergiat lagi dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila pada tahun 2018 . Meski dilakukan dengan cara baru, masyarakat kitya diingatkan bahwa kebangsaan kita dibangun dan dibentuk dengan dasar filosofi Pancasila.
Hanya saja fenomena politik identitas memang tidak bisa terelakkan. Mulai tahun 2010 sampai sekarang kita merasakan orang lebih menyukai homogenitas di berbagai segi. Mulai dari pendidikan, birokrasi, politik dan lain sebagainya. Homogenitas yang sebnagian besar dibawa oleh ideologi transnasional itu membawa dampak buruk bagi Indonesia.
Kita bisa melihat duania pendidikan 'dikuasai' oleh para pendidik yang terpapar ideologi transnasional ini. Mereka memuja homogenitas dalam hal ini kaum mayoritas dan seakan menafikan kaum minoritas. Pemujaan ini seakan menitis ke peserta didik (bisa kita lihat di kasus soal ujian yang mengandung ajaran intoleransi bahkan radikal) dan lingkungan sekelilingnya. Kita tahu juga banyak keluarga secara tak sadar terpapar ideologi radikal pada pengajian-pengajian eksklusif maupun massal. Karena itu muncul imbauan Joko Widodo kepada para istri TNI dan Polri untuk tidak mengundang penceramah radikal dalam kegiatan ibu-ibu.
Puncaknya memang pada kontestasi Pemilu baik Pilpres maupun Pilkada dimana beberapa calon Presiden dan Kepala Daerah tak malu-malu untuk memakai politik indentitas untuk kendaraan untuk meraih kemenangan. Beberapa hari lalu, ada bendera HTI pada deklarasi salah satu Calon Presiden, meski kemudian aparat memberitahu publik bahwa itu bukan bendera HTI.
Hal ini diperburuk dengan pengetahuan dan kesadaran politik yang rendah pada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak tahu bahwa dia terjebak pada politik identitas hanya karena agama dan suku yang sama. Ini adalah sebuah tantangan bagi kita semua untuk memperbaikinya. Jangan sampai masyarakat terjebak dan jangan sampai mereka terpecah belah dengan saudaranya atau kerabatnya hanya karena politik identitas. Ini tantangan dan tugas kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H