Lihat ke Halaman Asli

Hari Kebangkitan Nasional, Momentum Melawan Radikalisme dan Intoleransi

Diperbarui: 21 Mei 2022   04:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia - jalandamai.org

Indonesia sempat memasuki masa kebangkitan nasional. Ketika itu anak-anak muda aktif berorganisasi dan tumbuh kesadaran bersama, untuk berorganisasi dan lepas dari penjajahan. Para pemuda yang dipelopori oleh Soetomo, akhirnya mendirikan organisasi modern pertama di Indonesia, yang kemudian dinamakan oleh Boedi Oetomo. Melalui organisasi itulah, kemudian berkembang semangat untuk saling belajar, membekali diri dengan berbagai informasi, agar tumbuh menjadi generasi yang pintar.

Dari kepintarannya itulah para pemuda ketika itu saling membagikan informasi melalui surat kabar. Dan dari Boedi Oetomo ini kemudian melahirkan organisasi-organisasi baru lainnya. Namun seiring berkembangnya waktu, muncul semacam kesadaran bersama tentang pentingnya semangat persatuan dan kesatuan. Jika perjuangan sebelumnya banyak dilakukan secara fisik, mulai muncul perjuangan ditingkatan gagasan dan ide.

Karena adanya kesadaran bersama untuk bersatu dan merdeka itulah, kemeudian lahir semangat Sumpah Pemuda. Sebuah semangat yang masih kita pegang hingga saat ini. Meski kita semua berbeda, namun kita semua tetap tinggal dan besar di tanah yang sama, yaitu tanah Indonesia. Meski bahasa lokal kita saling berbeda, tapi bahasa nasionalnya tetap Indonesia. Meski kita berbeda suku, kita semua tetap bangsa Indonesia. Semangat nasinalisme itulah yang harus kita jaga hingga saat ini.

Dan yang kalah pentingnya adalah era kebangkitan nasional telah menyatukan semangat untuk merdeka, semangat untuk bersatu dalam keberagaman. Tak dipungkiri, egoisme pribadi atau kelompok sempat menguat. Semangat kedaerahan jauh lebih kuat dibandingkan semangat nasionalisme. Pemberontakan DI/TII adalah salah satu contoh menguatnya egoisme kelompok yang dilatari oleh bibit radikalisme. Pemberontakan itulah yang disebut cikal bakal bibit radikalisme di Indonesia.

Kini, bibit radikalisme it uterus berkembang menyesuaikan zaman. Keberadaan hoaks, provokasi dan ujaran kebencian yang dilatari persoalan agama atau SARA, terus bermunculan di media sosial. Hampir setiap hari orang bisa saling menebar kebencian dia media sosial. Entah karena hanya persoalan suka tidak suka, atau karena perbedaan yang lain. Padahal, perbedaan sejatinya bukanlah persoalan bagi kita di Indonesia. Kelompok intoleran dan radikal terus mempersoalkan keberagaman yang ada di negeri ini.

Beberapa bulan lalu sempat ada seorang pemuda menendang sesaji yang ada di gunung Semeru. Alasannya, sesaji yang bikin murka Allah SWT. Perilaku ini tentu menciderai keberagaman yang ada di Indonesia. Sesaji adalah salah satu media peribadatan yang digunakan oleh saudara kita yang beragaman Hindu. Hal ini merupakan contoh perilaku yang menyesatan. Namun dalam praktenyanya, kelompok minoritas yang berbeda seringkali dianggap sesat ataupun kafir.

Semangat nasionalisme harus terus ditumbuhkan, agar tidak terperangkap dalam imajinasi negara agama, seperti yang terus dimunculkan oleh kelompok radikal. Indonesia adalah negara besar yang membutuhkan generasi yang toleran, bukan generasi intoleran. Indonesia perlu generasi yang merangkul, bukan generasi yang suka memukul. Mari kita jaga dan lestarikan keberagaman ini, dengan tetap menjaga semangat nasionalisme dan spiritual kita semua. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline