Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Mulai dari suku, adat, budaya, bahasa bahkan agama tiap orang bisa saling berbeda. Dan pemerintah pun juga menjamin kepada setiap warga negara nya, untuk bebas memeluk agama berdasarkan keyakinannya masing-masing. Karena keberagaman inilah, telah membuat Indonesia tumbuh menjadi negara yang toleran. Namun tidak sedikit pula oknum-oknum yang menyusupkan konten intoleransi, untuk membuat ketenangan dan keberagaman di negeri ini menjadi terganggu.
Salah satu bentuk gangguan ini disusupkan melalui media sosial, yang berkembang melalui kecanggihan teknologi informasi. Seiring perkembangan zaman, ada saja oknum yang secara sengaja menyebarkan pesan kebencian, hanya karena persoalan yang sederhana. Terkadang hanya karena persoalan suka tidak suka saja, provokasi langsung mengemuka di media sosial. Hanya karena persoalan berbedap pandangan politik, berbeda keyakinan atau berbeda dalam hal lain, bisa memicu terjadinya perselisihan.
Ironisnya, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang menjadi korban dari provokasi tersebut. Maraknya hoaks yang dipadu dengan sentimen SARA, membuat sebagian orang kehilangan logika berpikir.
Tidak sedikit dari masyarakat yang langsung mempercayai, apalagi jika ada tokoh masyarakat yang mengatakan, atau jika ada kutipan ayat suci yang diselipkan untuk meyakinkan. Padahal semuanya itu hanyalah merupakan upaya untuk mendapatkan simpati. Dan terbukti, ketika sentimen SARA dimunculkan amarah masyarakat langsung tak terkendali. Dan pada titik inilah, potensi konflik bisa terjadi.
Tak jarang, provokasi itu begitu vulgar dimunculkan di medis sosial, situs berita, atau portal online. Karena masifnya perkembangan digital ini, seseorang bisa dengan mudah membuat situs pemberitaan sendiri, blog, ataupun inovasi-inovasi lain di dunia maya. Dan tidak jarang, masyarakat masih belum bisa membedakan mana situs resmi dan tidak, mana berita yang benar dan bohong. Asalkan diunggah di media sosial atau internet, bisa langsung dijadikan sumber rujukan. Padahal, bisa jadi informasi tersebut tidak benar, dan sengaja dimunculkan untuk memunculkan kebingungan dan kegaduhan di tengah masyarakat.
Untuk itulah perlu kejelian bersama. Kita harus bisa cek ricek dan perkuat literasi, agar bisa melakukan fliter setiap informasi yang berkembang. Sehingga kita tidak mudah percaya begitu saja. Hal ini penting karena hoaks sudah begitu maraknya di dunia maya. Peristiwa apa saja bisa dibelokkan oleh orang-orang yang bertanggung jawab. Bahkan bencana alam atau pandemic seperti covid-19 ini saja, banyak sekali berseliweran hoaks yang membuat kita semua geleng-gelang kepala.
Pemerintah harus tegas untuk menghapus segala bentuk konten yang bisa memicu terjadinya perpecahan. Saat ini banyak sekali kelompok tertentu yang membawa agama tertentu, tapi justru dibelokkan sampai menjauhi arti sebenarnya. Soal jihad misalnya, banyak yang memaknai dengan cara melakukan hal-hal yang ekstrem, bunuh diri atau meledakkan diri. Padahal, dengan bekerja pun kita juga sudah melakukan jihad.
Pemerintah dan kita semua harus meningkatkan kewaspadaan. Pemerintah harus menghapus segala bentuk konten provokatif, mengandung radikalisme ataupun bermuatan SARA. Namun menutup akun tidak akan manfaatnya, jika masyarakatnya terus memproduksi konten menyesatkan. Karena itulah, dari kita sebagai generasi penerus, juga harus aktif memberikan penyadaran dan mengunggah konten yang penuh inspirasi dan bisa menyatukan segala bentuk keberagaman. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H