Lihat ke Halaman Asli

Perkuat Logika dan Literasi, Setop Stigmatisasi Karena Covid-19

Diperbarui: 11 April 2020   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Corona - detiknews.com

Hoaks memang masih menjadi musuh kita dan semua negara. Tidak peduli dalam suasana apa, hoaks sengaja dimunculkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tak terkecuali di masa pandemic corona seperti sekarang ini. Disaat pemerintah terus berusaha melakukan sosialisasi pentingnya memakai masker, cuci tangan dan menjaga kesehatan, sebagian oknum justru sibuk menebar hoaks. Dan dalam konteks covid-19 ini, sudah ada oknum yang ditangkap pihak kepolisian.

Dalam masa pandemic ini, mari perkuat terus literasi agar tidak mudah terprovokasi. Mari gunakan logika kita juga, agar tetap bisa mengedepankan kemanusiaan. Jika melihat media sosial di tengah pandemic ini, banyak sekali stigmatisasi yang ditujukan kepada sebagian masyarkat, yang sebenarnya sangat berjasa dalam penanganan covid-19 ini. Salah satu contohnya adalah stigma yang dirasakan oleh para tenaga medis dan keluarganya. Petugas medis dianggap membawa virus ketika pulang ke rumah, dan langsung mendapatkan diskriminasi dan stigmatisasi.

Yang tidak habis pikir lagi adalah ada juga masyarakat yang menolak memakamkan jenazah yang positif covid-19. Kok bisa? Dimana rasa kemanusiaan kita sebagai masyarakat Indonesia? Orang yang sudah meninggal saja masih didiskriminasikan. Kekhawatiran yang berlebihan telah mematikan logika sebagian orang. Minimnya literasi telah membuat banyak orang mudah terprovokasi oleh informasi bohong yang menyesatkan.

Corona memang telah membuat banyak orang khawatir. Tidak hanya masyarakat biasa, para petinggi negeri ini pun bisa terinveksi virus yang mematikan ini. Hingga 11 April 2020, sudah ada 3.842 kasus positif, 3.229 dirawat, 327 meninggal dan 286 sembuh. Sementara untuk Jakarta, masih mendominasi dengan 1.948 kasus, disusul Jawa Barat 421 kasus, Banten 279 kasus dan Jawa Timur 267 kasus. Penyebaran virus ini dipengaruhi juga oleh mobilitas masyarakat yang begitu tinggi.

Karena itulah, DKI Jakarta yang paling pertama minta izin untuk penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pembatasan ini ditujukan agar penyebaran virus bisa lebih dikendalikan. Dengan membatasi pergerakan manusia, diharapkan juga bisa mengurangi penyebaran virus. Namun upaya ini tidak sedikit juga yang mempertanyakan, mencibir ataupun mengkritik. Sebenarnya tidak masalah mengkritik, justru itu diperlukan. Kritik yang disertai dengan masukan atau solusi, jauh lebih bermanfaat jika hanya kritik yang disertai dengan kebencian.

Banyak orang yang mengkritik kenapa tidak diterapkan lockdown di Indonesia, seperti di negara-negara lain dalam menghadapai covid-19. Banyak pendapat yang pro dan kontra terkait kenapa pemerintah memilih PSBB bukan lockdown. Pemerintah sendiri telah menyatakan bahwa karakter Indonesia berbeda dengan negara-negara lain. Karena karakter yang berbeda itulah, pendekatan dalam menghadapi corona ini tidak bisa dipaksakan sama dengan negara lain.

Stop saling mencari kesalahan. Yang dibutuhkan saat ini bukan mencari siapa yang benar atau salah. Yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran dan kedisiplinan untuk berada di rumah, untuk saling mengingatkan dan menguatkan, saling mendonasikan, saling menebar pesan positif, agar optimism dalam menghadapi corona ini tetap terjaga. Dengan komitmen bersama, Indonesia pasti akan bisa melewati bencana kemanusiaan ini. Salam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline