Mencoba untuk saling mengerti dan memahami, nampaknya mudah untuk dilakukan. Nyatanya, tidak semua masyarakat bisa melakukannya. Dalam kehidupan nyata, seringkali pertengkaran terjadi antar sesama teman, antar sesama tetangga, bahkan antar sesama keluarga atau pasangan suami istri.
Pertengkaran tersebut ada yang berujung damai, tapi ada juga yang berujung saling seteru dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Bagi yang berujung saling memaafkan, disitulah ada upaya untuk saling mengerti dan memahami.
Pernahkah diantara kalian merasakan momen seperti contoh diatas? Sikap seperti manakah yang kalian pilih? Belajar mengontrol emosi, belajar mengendalikan ego, atau melakukan instrospeksi dan merangkul keberagaman?
Ingat, jihad yang sesungguhnya di era sekarang ini adalah mengendalikan hawa nafsu. Jihad tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Jihad juga tidak boleh dengan cara melanggar hak orang lain, ataupun perilaku negative yang lainnya.
Belajar untuk saling memahami, menghormati atau toleran, merupakan keniscayaan yang tak bisa dilepaskan dari tradisi masyarakat Indonesia. Kearifan lokal yang tersebar dari Aceh hingga Papua, telah melahirkan perilaku-perilaku terpuji dari masyarakat Indonesia.
Budaya gotong royong telah melekat dalam pribadi kita semua, meski dalam perkembangannya mulai terkikis oleh budaya milenial. Gotong royong mulai terkikis dengan prasangka, kebencian dan segala bentuk provokasi yang bertebaran di dunia maya.
Banyak contoh yang bisa kita jadikan pembelajaran bersama. Di India misalnya, yang saat ini masih dirundung ancaman konflik antar sesama umat beragama. Karena dipicu oleh aturan yang diskriminatif, antar umat beragama di Indonesia terlibat konflik sectarian.
Karena konflik itu pula, puluhan manusia meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Hal yang semestinya tidak perlu terjadi, jika kita semua sama-sama bisa saling mengendalikan diri, dan mencari solusi dengan kepala dingin.
Indonesia sendiri pernah merasakan bagaimana mengerikan ancaman konflik SARA. Keramahan yang selama ini menjadi karakter masyarakat Indonesia, berubah menjadi amarah yang membabi buta. Apalagi amarah it uterus diprovokasi dengan maraknya ujaran kebencian, semakin membuat potensi konflik di tengah masyarakat semakin jadi.
Contoh yang paling nyata belakangan adalah ketika pilkada DKI Jakarta. Karena sentimen SARA dimunculkan, persoalan berbeda pilihan politik menjadi hal yang menakutkan. Karena imbas dari perbedaan pilihan politik itu tidak hanya akan mendapat cacian, tapi juga berpotensi mendapatkan persekusi.
Tak jarang, berbagai macam konflik yang terjadi di luar Indonesia, seringkali dibawa ke Indonesia untuk mengganggu ketenangan di Indonesia. Masyarakat yang mayoritas muslim, diganggu dengan pesan-pesan kebencian yang berpotensi memicu bangkitnya kelompok radikal.