Lihat ke Halaman Asli

Jiwa 'Pemberontak' dalam Perjuangan

Diperbarui: 3 Mei 2019   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber manado.tribunnews.com 

Ada yang menarik dari sosok Ki Hadjar Dewantara (KHD). Di balik ketulenannya sebagai orang Jawa yang santun dari kalangan bangsawan, KHD sebenarnya punya karakter kuat sebagai pemberontak. Namun, KHD mampu 'membungkus' sikapnya itu dengan pola pikir dan gerakan yang bisa diterima semua orang. Dengan cara itu, cita-citanya untuk membuat bangsa Indonesia memperoleh pendidikan yang tinggi bisa tercapai.

Pemberontakan yang terlihat dari diri pribadi KHD itu misalnya dari penolakannya pada gelar bangsawan yang seharusnya ia sandang selama hidup.
Sebagai tokoh yang lahir di lingkungan ningrat, ia paling tidak suka dengan gelar tinggi yang disandangnya. Terlahir sebagai putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III, KHD sebenarnya punya nama Raden Mas di depan nama lahirnya, Soewardi Soerjaningrat.

Tetapi pada usia 40 tahun, ia menghilangkan gelar itu dengan berganti nama KI Hadjar Dewantara yang kita kenal sampai sekarang itu. Bukan berarti gelar itu dihapus untuk mengingkari asal-usul, namun bagi KHD ia ingin bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Baginya yang penting adalah pendidikan. Beruntung ia tamat ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda) dan STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), meski tetapi tidak sampai tamat karena sakit.

'Pemberontakannya' juga tercermin ketika ia diasingkan ke Belanda. Justru hal itu membuat pemikiran KHD untuk memajukan pendidikan bangsanya, tidak berhenti. Di negeri penjajah, KHD malah aktif di dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) dan mendirikan Indonesisch Pers-bureau atau kantor berita Indonesia. Selama di Belanda, KHD memikirkan bagaimana agar yang kelak belajar bisa mendapatkan ijazah pendidikan.

Jiwa 'pemberontak' KHD itu ternyata membuahkan hasil pagi perjuangannya. Tiga tahun sekembalinya ia dari Belanda ke Indonesia, KHD mantap mendirikan sekolah yang diangan-angankannya yaitu Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Bagi KHD, setiap orang berhak memperoleh pendidikan yang layak. Inilah karakter kuat yang ditunjukkan KHD yaitu integritas.

Dalam lima nilai karakter utama di dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) integritas itu sangat penting selain nilai religius, nasionalis, kemandirian dan kegotongroyongan. Nilai integritas itu merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral.

Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Seseorang yang berintegritas juga menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas), serta mampu menunjukkan keteladanan. Karena itu, sikap yang seolah terlihat sebagai 'pemberontak' itu dalam diri KHD ditunjukkan sebagai bukti dari integritasnya.

Dengan kata lain, 'memberontak' pada sesuatu hal yang tidak sesuai dalam perjuangan menjadi sah bila itu dilakukan untuk menunjukkan tanggung
jawabnya kepada bangsanya. Dalam suasana peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2019 ini, semoga kita bisa meneladani jiwa 'pemberontak' KHD ini untuk teguh dalam perjuangan kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline