Lihat ke Halaman Asli

Radikalisme Hanya Memecah Kita

Diperbarui: 27 November 2018   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

brasilartesenciclopedias.com

Ingat fenomena politisasi khotbah Jumat yang terjadi menjelang Pilkada Jakarta tahun 2016 lalu ? Pilkada yang begitu riuh, menegangkan dan sempat mencuri perhatian media internasional itu memang sangat menyita energi masyarakat Jakarta.

Bagaimanapun harus kita akui bahwa Pilkada Jakarta itu menimbulkan rasa sentiment antar pemeluk agama di Jakarta. Baik dewasa maupun anak-anak. Kita tentu tahu ujaran-ujaran kebencian yang dilontarkan pihak tertentu kepada pihak lain dan lain sebagainya. Mereka melakukan ujaran-ujaran kebencian itu di gang-gang. Bahkan penulis sendiri pernah melihat seorang remaja melontarkan kebencian setelah dirinya selesai sholat Jumat di masjid.

Lebih lanjut lagi, kondisi ini berpotensi sebagai pemecah bangsa. Pihak-pihak lain yang tak punya kaitan ikut bersuara dan bersikap sehingga sentimentasi itu melebar ke berbagai kalangan pada bangsa kita.

Yang paling memprihatinkan dari kasus Pilkada Jakarta itu adalah digunakannya masjid sebagai alat politik. Alat politik ini termasuk propaganda yang dilakukan oleh imam-imam di masjid. Tujuannya untuk menggolkan pasangan tertentu. Situasi ini tentu menyedihkan bagi kita sebagai bangsa yang menjunjung kemajemukan.

Kini ancaman bahaya itu terjadi lagi pada kita. Beberapa waktu lalu Badan Intelejen Negara (BIN) menengarai bahwa ada puluhan masjid yang ada di lingkungan pemerintahan, BUMN dan lembaga Negara yang terpapar radikalisme. Dari jumlah itu ada 17 yang masuk dalam katagori parah.

Bentuk narasi radikal yang ditermukan di masjid-masjid itu seperti ajakan-ajakan untuk berperang ke Suriah atau Marawi -- Filipina Selatan. Ajakan itu disertai dengan cuplikan-cuplikan ayat di Al -- Quran yang berkonteks perang jaman Nabi Muhammad.  Cuplikan itu kemudian dipelintir sedemikian rupa sehingga menjadi agitasi massa.

Padahal kita bersama tahu bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai tempat ibadah dan menghimpun jamaah. Selain itu juga masjid berfungsi untuk menuntut ilmu, musyawarah, merawat orang sakit, dan asrama. Aktivitas semacam inilah yang dulu mewarnai masjid Nabawi, di masa Rasulullah SAW. Inilah fungsi masjid yang sebenarnya. Tentu saja ini merupakan hal yang ironi bagi bangsa kita.

Karena itu khotbah-khotbah di masjid mungkin mulai sekarang kita kritisi sebagai umat. Jangan semua khotbah kita masukkan sebagai ajaran yang benar karena disampaikan oleh ustadz. Jika sesuai dengan konteks ajaran nabi itu menjadi hal yang layak kita ikuti. Sebaliknya jika bertentangan dengan ajaran Nabi, itu bisa kita sikapi dengan kritis.

Karena itu mungkin kita bisa sedikit paham jika pemerintah mengingini ada semacam kurikulum khotbah di masjid. Kurikulum ini tentu saja bukan seperti kurikulum di sekolah tetapi panduan yang memberi kisi-kisi mana khotbah yang sesuai dengan ajaran nabi dan mana yang sebaiknya dihindari karena menghilangkan konteks. Penhilangan konteks ini sering menimbulkan efek negative macam radikalisme itu. Radikalisme sangat berpotensi memecah bangsa

Karena kita perlu untuk mendukung upaya pemerintah, agar  bangsa kita tetap satu dan tidak terpecah belah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline