Kapolri Jenderal Tito Karnavian memastikan, salah satu korban teroris yang tertembak dalam aksi baku tempak di Poso kemarin, adalah Santoso, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur yang selama beberapa tahun ini menjadi buronan. Santoso juga sempat masuk dalam daftar teroris internasional yang diburu oleh Amerika Serikat. Setelah munculnya ISIS, kelompok ini pun menyatakan berbaiat dengan ISIS.
Dalam perjalanannya, kelompok Santoso dikabarkan terus berkurang. Media massa memberitakan, ada 2 orang yang berhasil dalam baku tembak kemarin. Lantas, benarkah kelompok Santoso benar-benar selesai? Apakah jaringan terorisme sudah habis di Indonesia? Jawabnya tidak. Kenapa? Karena potensi suburnya terorisme di Indonesia begitu besar. Bahkan, pengamat terorisme Sydney Jones, sempat menyatakan bahwa pinggiran Jakarta juga mempunyai potensi penyebaran paham radikal.
Media massa sempat memberitakan, salah satu Masjid di Jakarta, yang tak jauh dari istana negara, sempat dijadikan propaganda penyebaran paham ISIS. Dalam proses penyebaran itu, peserta pengajiannya bisa dikatakan tidak sedikit. Tidak hanya itu, di kawasan Depok, juga sempat ditemukan buku bacaan anak, tapi berisi ajaran tentang jihad. Padahal buku-buku itu ditujukan untuk pendidikan anak usia dini (PAUD). Masih di Jakarta, juga sempat diberitakan adanya oknum guru yang senagaja menyalahgunakan posisinya untuk menyebarkan ajaran radikal. Ini hanya contoh di Jakarta.
Saatnya cerdas menyikapi dan mencegah propaganda terorisme ini. serangan terorisme sebenarnya tidak hanya terjadi di dunia nyata, tapi juga dunia maya yang banyak disukai oleh generasi muda. Konten-konten provokatif yang berisi nada kebencian, harus kita tangkal dengan memperbanyak pesan damai. Jangan sampai generasi muda kita terus menjadi korban. Ingat, mereka juga melakukan perekrutan di dunia maya. Lihatlah, para pelaku aksi terorisme di Indonesia dan dunia, rata-rata dilakukan oleh anak-anak muda. Bom Thamrin dan Surakarta bulan kemarin, juga masih dilakukan anak muda. Sungguh ironis.
Fakta-fakta diatas bukanlah aksi teatrikal. Mereka melakukan dengan sadar. Jika kita tidak berempati mencegah saudara kita untuk tidak menjadi korban, tentu akan banyak generasi yang mati sia-sia. Jika kita tidak peduli, akan banyak masjid yang dikotori pesan-pesan radikal, jika kita tidak aktif menyebarkan pesan damai, dua dunia baik itu dunia nyata dan dunia maya, akan banyak diisi konten negatif. Akankah kita membiarkan semua itu terjadi? Mari kita terus membekali diri kita, update pengetahuan dan keimanan kita. Karena kelompok teroris tidak pernah berhenti meneror.
Jika kita melihat teror yang terjadi di Nice, Perancis, mungkin tidak masuk dalam benak kita. Mereka kelompok teroris ini, mulai merubah pola serangan dan alat yang digunakan. Mereka tidak lagi menggunakan senjata atau bom. Mereka justru menggunakan kendaraan, yang setiap hari ada disekitar kita. Truk yang dikendarai secara bratal dan menabrak kerumunan massa yang sedang merayakan hari nasional Perancis. Akibatnya 84 orang meninggal dunia dan ratusan orang luka-luka.
Tidak menutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Ingat, meski Santoso sudah tewas, pengikutnya yang mempunya paham yang sama, juga masih berkeliaran. Aksi balas dendam bisa jadi akan terjadi, paska meninggalnya pimpinan Mujahidin Indonesia Timur ini. Mari tingkatkan kewaspadaan dan semangat, untuk terus melawan segala bentuk terorisme. Karena mereka tidak pernah berhenti, maka kita juga tidak boleh lelah melawannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H