Lihat ke Halaman Asli

Lardianto Budhi

Menulis itu Membahagiakan

Membaca Diri: Sebuah Esai tentang Politik

Diperbarui: 11 Juni 2019   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seandainya kualitas para pemimpin hebat dunia yang masih ada atau yang sudah tidak ada dikumpulkan untuk meng-allenator- i Republik Indonesia Raya, saya tidak yakin ramuan itu kepemimpinan itu akan mampu membereskan persoalan terkini yang amat kompleks ini.

Andaikan Umar Bin Khatab, Jenghis Khan, Mao Tse Tung, Iskandar Agung, Napoleon Bonaparte, Thomas Jefferson, Hirohito, Castro, Soekarno di 'uleg' jadi satu dan didaulat memimpin Indonesia hari-hari ini, belum terjamin bahwa tipologi dan karakter pemimpin kombinatif itu mampu duduk dikursi kepemimpinan dengan tenang dan didukung secara produktif oleh mayoritas penduduknya. 

Mengapa? Karena menjadi pemimpin di Indonesia tidak boleh salah sedikitpun. Pemimpin di Indonesia harus menyenangkan semua fihak. Maka, Soekarno tidak cukup, Soeharto tidak cukup, Habibie, Megawati, bahkan manusia sekaliber Gus Dur saja dijungkalkan. 

Obsesi kepemimpinan kita adalah seorang figur dengan kualitas "Satria  Pinandhita Sinisihan Wahyu", seorang yang dalam dirinya memiliki kesaktian, ketangguhan, keberanian, dan keteguhan keperwiraan tapi harus juga sudah mencapai tahap kematangan mental seorang pandhita. 

Dan itu saja belum cukup, karena selain 2 hal tersebut, pemimpin harus mencapai maqam selayaknya Nabi dan Rasul yang selalu "sinisihan wahyu", yakni menguasai kepekaan ekstra tinggi untuk menangkap gelombang kasyaf informasi dan cahaya ke Maha Kuasa-an Tuhan. 

Tak mengherankan bila selama ini, siapapun pemimpin kita, selalu direcoki dan ditelanjangi dari waktu ke waktu. Agaknya, teramat sulit pemilu dan sistem demokrasi yang kita peluk dan kita panggul dengan sangat khusyuk itu mampu menemukan pemimpin dengan kualifikasi "satria pinandhita sinisihan wahyu" tadi. 

Selebihnya, barangkali karena gen masyarakat kita adalah gen-nya pemimpin, bukan gen manusia kebanyakan, bukan gen masyarakat "pekathik" atau jongos sehingga secara naluriah, kita lebih siap atau merasa siap menjadi pemimpin dari pada dipimpin. 

Bila suatu hari anda ketiban pulung menjadi pemimpin, entah pemimpin dilevel apa, ada harus siap ketika suatu hari nanti, sahabat karib anda atau orang yang tiap saat "glundang-glundung" dengan anda lah yang akan menggulingkan anda dari posisi anda itu. Kalau si A naik, si B jadi oposisi, lalu ketika si B naik, oposisinya si A dan si C, si D dan seterusnya yang menunggu giliran mencicipi nikmatnya kekuasaan kepemimpinan. 

Apabila saat anda naik kursi kekuasaan, dan kawan anda, atau teman-teman anda tidak kebagiaan kue kekuasaan, maka dengan secepat kilat mereka itu akan menjadi lawan anda. 

Dari itulah, saya tidak berselera mengikuti berita-berita perebutan kekuasaan yang membuat bulu kuduk bergidig itu. Apalagi kok sampai ikut-ikutan bersaing memperebutkan kekuasaan dan kepemimpinan. 

Saya cukup tahu diri dengan bekal dan kapasitas saya sehingga tidak punya nyali untuk bersaing dalam kompetisi perebutan kekuasaan.
Disamping itu, saya bersyukur karena saya merasa cukup bisa menikmati hidup sekalipun dengan tidak memiliki kekuasaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline