Saya membaca berita dari sebuah media massa online bahwa Konggres Filipina (semacam DPR-nya Filipina) belum lama ini mengesahkan Undang-Undang yang mengharuskan setiap siswa sekolah dari tingkat SD hingga SMA untuk menanam minimal 10 pohon sebagai syarat kelulusan.
Jauh sebelumnya, saya pernah mendengar ada beberapa negara yang menjadikan uji Karawitan sebagai syarat kenaikan kelas dan kelulusan sekolah.
Atas berita-berita itu, saya geleng-geleng kepala. Terus terang saya merasa cemburu, kenapa kebijakan seperti itu tidak bisa (atau tidak akan) diberlakukan di Negara saya.
Agak pesimis juga hal itu terjadi di lingkungan tempat tinggal saya melihat kecenderungan dan gerak orientasi dunia pendidikan yang sedang diterapkan sekarang.
Menanam pohon dan bermain Karawitan seolah-olah bukan bagian -atau setidaknya- mengandung nilai pendidikan yang penting bagi generasi penerus bangsa, yakni anak-anak sekolah itu. Anak-anak sekolah disini sedang dipacu, diajari, dan diyakin-yakinkan untuk menjadi unggul dengan meraih prestasi, itupun kadang-kadang sebatas prestasi akademik.
Ada kecenderungan kuat, anak-anak pelajar kita sedang dilatih untuk saling mengungguli satu sama lain dan belajar bagaimana cara memanen/meraih sebanyak-banyaknya dari setiap kesempatan dan peluang disekitarnya. Produktivitas dalam pencapaian prestasi diri adalah arus utama yang selalu digelorakan terhadap para murid di sekolah.
Dunia sedang memasuki abad industrialisasi yang teramat cepat percepatan dan mengandung kompleksitasnya yang rumit. Generasi penerus harus diajari bagaimana cara bersaing dan saling mengungguli sejak dini agar tidak kelabakan ditikungan jaman esok.
Saya belum memiliki cukup informasi apakah pemerintah Filipina tidak melihat ini sebagai aim goal
Dalam proses pendidikan bagi generasi muda bangsa mereka. Ketika Konggres bangsa Filipina mengesahkan undang-undang tentang kewajiban menanam pohon sebagai syarat lulus sekolah, saya melihat, mereka sedang ingin mengajari para siswa sekolah untuk belajar peduli dan mengalami proses empirisme substansial. Kalau kita menanam pohon hari ini, kita langsung akan menyadari dan mengerti bahwa kita tidak akan bisa cepat memanem hasilnya.
Ada juga kemungkinan lain, yakni tidak setiap yang kita tanam, kita akan nikmati hasilnya. Tanaman kita hari ini adalah tabungan untuk anak-anak dan generasi kita pada masa mendatang. Konggres Filipina, dengan itu sedang mengajari para pelajar Filipina agar belajar bagaimana mengenal kelangsungan hidup masa depannya.
Saya tidak sedang kecewa dan mencibir bangsaku. Justru saya menuliskan ini karena saya teramat mencintai bangsa dan negaraku, saya mencintai dengan sedalam-dalamnya cinta dan berharap agar bangsaku akan hidup 1000 tahun lagi, sebagaimana puisi Chairil Anwar itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H