Lihat ke Halaman Asli

Lardianto Budhi

Menulis itu Membahagiakan

Bicara tentang Film yang "Berbicara"

Diperbarui: 30 Maret 2018   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Setelah berakhirnya perang Perancis-Prusia dan kekalahan Louis Napolean, awal tahun 1870-an Perancis memasuki jaman republik. Masa ini dicatat sebagai belle poque, yakni suatu istilah untuk menunjukkan sebuah situasi keemasan yang berlangsung di Perancis pasca masa kekaisaran dan perang Dunia I.

Kehidupan sosial politik di Perancis mengalami perubahan yang demikian drastis. Situasi damai dan kententraman yang berkembang ditengah-tengah bangsa Perancis saat itu mendorong tumbuhnya kreatifitas rakyat diberbagai bidang sehingga banyak penemuan-penemuan ilmiah maupun teknologi baru. Penemuan-penemuan baru dibidang seni rupa, matematika, seni musik, fisika, dan bidang keilmuwan lain termasuk film berlangsung pada masa ini.

Awalnya, film adalah rekaman atas sebuah peristiwa atau bisa juga sandiwara/teater disuatu tempat yang dipertunjukkan kembali ke khalayak pada waktu dan tempat berbeda. Sebelum ditemukan alat perekam suara, film sebatas menyajikan gambar bergerak atau gambar hidup (bioscope).

Bersamaan waktu dengan diterbitkannya buku karya sosiolog terkemuka Perancis, Emile Durkheim yang berjudul Rules of Sosiological Methode dan awal mula publikasi The American Journal Of Sosiology pada tahun 1895, untuk pertama kalinya diperkenalkan gambar bergerak kepada khalayak ramai di Perancis oleh Lumeire. Dialah yang kemudian menyebarkan pertunjukan gambar hidup keluar Perancis yang dimulai dari Inggris, Uni Sovyet, India, dan Jepang sehingga membuat Lumeire dikenal sebagai pelopor berdirinya bioskop. Hingga tahun 1900-an awal, film masih disajikan tanpa dialog.

Pada masa awal kelahirannya ini, film benar-benar sebuah gambar yang hidup. Universalitas karya film terlihat dari kedudukannya sebagai alat komunikasi yang mengedepankan ekspresi gerak tanpa melibatkan verbalitas (kata-kata/dialog). Dengan cara begini, penonton yang berbeda-beda latar belakangnya bisa menikmati dan menginterpretasikan gambar hidup itu berdasarkan persepsinya masing-masing.

Sejarah perfilman di Indonesia berawal saat De Nederlandsch Bioscope Maatschappij pemerintah Hindia Belanda memutar sebuah tontonan gambar hidup yang disebut sebagai Pertunjukan Besar Yang Pertama (H. M. Johan Tjasmadi, 1992). Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1900 di Tanah Abang, Jakarta. Sementara film "Loetoeng Kasaroeng" merupakan film pertama yang diproduksi di Indonesia pada tahun 1926 dan mengangkat cerita rakyat Indonesia. Semua film tersebut masih berupa film bisu atau film tanpa suara, baru pada tahun 1929 film bitjara mulai masuk ke Indonesia yang diputar pertama kali di Surabaya.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, perkembangan film bioskop makin memperlihatkan statistik yang menggembirakan yaitu ditandai dengan munculnya film-film yang dibuat oleh seniman Indonesia sendiri. Berdirinya Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) pada tahun 1950 yang diinisiasi oleh Umar Ismail menjadi awal dari babak baru perfilman Nasional. Sebelumnya, Djamaludin Malik mengadakan pertemuan para penggiat film di kota Solo pada tahun 1947 dan mendirikan Perseroan Artis Indonesia (PERSARI) pada tahun 1951 untuk mewadahi aktifitas para pelaku dan penggiat film. Melalui kehadiran PERSARI inilah kemudian mendorong diselenggarakannya Festifal Film Indonesia I yang dimulai pada 30 Maret 1955.

Suatu ketika, Umar Ismail menyatakan bahwa film adalah potret peradaban sebuah bangsa, penanda sejarah yang menggambarkan seperti apa bangsa itu dimasa tersebut. Secara dialektis, film bisa menjadi sebuah jendela untuk melihat jenis peradaban dan situasi riil sebuah masyarakat pada saat film itu dibuat. Semiotika film tidak terbatas pada penafsiran terhadap unsur-unsur verbalnya namun terkait pula dengan yang non verbal. Namun demikian, film tidak hanya berperan sebagai saksi sejarah dengan cara merekam karakter peradaban suatu jaman yang sedang berlangsung saat itu. 

Lebih dari itu, film mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi dan membentuk kesadaran atau persepsi kolektif masyarakat melalui jenis ideologi yang diejawantahkan dalam bentuk-bentuk estetika dalam suatu karya film. Konten film pun akan sangat berpengaruh dalam mengkonstruksikan gagasan atau ide masyarakat untuk melakukan pemaknaan dan menentukan sikap dilingkungannya. Film Catatan si Boy dan Lupus pada era 80-an hingga 90-an menjadi salah satu artefak sejarah film bioskop nasional yang memperlihatkan bagaimana film mampu memberi dampak luas untuk membentuk trend dan  gaya hidup dikalangan remaja.

Persoalan terkait film nasional yang hingga kini kerapkali terdengar adalah romantisme beberapa kalangan terhadap kebangkitan film nasional. Kondisi perfilman Nasional pernah mengalami suatu masa kelesuan ekstrem yang berimbas pada hilangnya banyak gedung bioskop diberbagai kota di Indonesia.

Oleh karena itu, kebangkitan film nasional yang dimaksud semesthinya tidak hanya beraksentuasi makna berupa munculnya kembali film-film bagus dan bermutu. Tidak semua film bagus ditonton oleh banyak orang, dan bisa juga sebaliknya, film yang sebenarnya tidak bagus justru meraih penonton yang luar biasa banyaknya. Akses masyarakat, ideologi produsen dan regulasi pemerintah adalah 3 faktor yang setidaknya akan mempengaruhi terwujudnya impian masyarakat untuk menikmati film Nasional Indonesia yang bermutu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline