Perkawinan anak masih menjadi praktik umum di beberapa bagian Nusa Tenggara Barat (NTB), dan isu ini menimbulkan kekhawatiran serius bagi berbagai kalangan. Suara Perempuan Nusantara, yang aktif memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia, memberikan pandangan kritis terhadap fenomena ini. Menurut Suara Perempuan Nusantara, perkawinan anak tidak hanya menghambat pendidikan dan perkembangan pribadi perempuan, tetapi juga meningkatkan ketergantungan ekonomi dan kerentanan terhadap eksploitasi, termasuk tindak pidana perdagangan orang.
Pendidikan dan Perkembangan Pribadi Terhambat
SPN menyoroti bahwa perkawinan pada usia muda sering kali menghentikan akses perempuan terhadap pendidikan. Anak-anak perempuan yang menikah pada usia dini cenderung putus sekolah, yang pada gilirannya menghalangi mereka untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan yang mandiri dan produktif. "Pendidikan adalah kunci untuk membebaskan diri dari siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan," ungkap Nur Khotimah, Ketua Suara Perempuan Nusantara. "Ketika anak perempuan dipaksa untuk menikah, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dan berkembang, yang seharusnya menjadi hak dasar mereka."
Lebih lanjut, SPN menjelaskan bahwa perkembangan pribadi perempuan juga terhambat oleh perkawinan anak. Pada usia remaja, anak-anak masih dalam proses perkembangan fisik dan mental yang kritis. Perkawinan dini dapat menyebabkan tekanan psikologis dan fisik yang signifikan, termasuk risiko kesehatan reproduksi yang lebih tinggi. "Perkawinan anak bukan hanya tentang hubungan legal, tetapi juga tentang tanggung jawab yang terlalu berat bagi anak-anak yang belum siap secara fisik maupun mental," tambah Nur Khotimah.
Ketergantungan Ekonomi dan Kerentanan Eksploitasi
Selain dampak pada pendidikan dan perkembangan pribadi, perkawinan anak juga meningkatkan ketergantungan ekonomi perempuan. Anak-anak perempuan yang menikah dini biasanya tidak memiliki keterampilan atau pendidikan yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, mereka menjadi sangat bergantung pada suami atau keluarga suami untuk kebutuhan finansial. Ketergantungan ekonomi ini sering kali menempatkan mereka dalam posisi yang rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi, termasuk kekerasan dalam rumah tangga.
SPN menegaskan bahwa ketergantungan ekonomi ini juga meningkatkan kerentanan perempuan terhadap perdagangan orang. Di NTB, dimana kemiskinan dan keterbatasan peluang ekonomi menjadi masalah serius, perempuan yang tidak memiliki kemandirian ekonomi lebih mudah menjadi target perdagangan orang. Mereka mungkin tergoda oleh janji-janji pekerjaan yang lebih baik di luar daerah atau luar negeri, yang pada akhirnya berujung pada eksploitasi.
Upaya Pencegahan dan Perlindungan
Untuk mengatasi masalah ini, SPN mengusulkan beberapa langkah strategis. Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif perkawinan anak melalui kampanye pendidikan dan advokasi. Kedua, memastikan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku yang memfasilitasi perkawinan anak, serta memberikan perlindungan hukum bagi anak-anak yang menjadi korban.
Selain itu, SPN juga mendorong peningkatan akses terhadap pendidikan bagi anak-anak perempuan di NTB. "Pemerintah perlu menyediakan fasilitas pendidikan yang lebih baik dan memastikan bahwa semua anak, terutama anak perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan mereka tanpa hambatan," kata Nur Khotimah. "Program beasiswa dan insentif pendidikan juga bisa menjadi solusi untuk mendorong anak-anak perempuan tetap bersekolah."