Lihat ke Halaman Asli

Fini Sayang Mamah

Diperbarui: 30 Oktober 2016   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam kian larut, dingin gigilkan tubuh. Kantuk mengusik konsentrasiku mereka imajinasi di depan laptop. Harapanku hanya satu, Allah memberikan kekuatan dan kemudahan segera dapat selesaikan cerita cerpen ini. Yah…malam ini juga, soalnya pukul 09.00 esok deadline, menjadi kesempatan terakhir pengiriman naskah ke alamat email panitia Lomba Menulis Cerpen Pendidikan Tingkat Nasional. Aku tidak boleh terlambat mengirimnya. Tidak boleh menyia – nyiakan peluang emas untuk meraih hadiah puluhan juta rupiah. Hadiah yang nantinya dapat dipergunakan untuk membatu papah membiayai operasi kangker yang sudah hampir dua tahun menggerogoti rahim mamahku.

Sedih rasanya melihat papah yang sampai sekarang belum dapat mewujudkan keinginnya mengangkat kangker ganas itu. Menurut dokter, satu – satunya cara menangani kangker di rahim mamah hanya dengan cara diangkat, itu pun resikonya rahim mamah akan kering dan tidak dapat dibuahi lagi. Artinya aku akan menjadi anak tunggal untuk selamanya.

Bukan tidak berusaha, sebenarnya papah berkali-kali membawa mamah berrobat ke dokter bahkan ke pengobatan alternative, dengan harapan mamah tidak perlu dioperasi, namun hasilnya nihil. Hanya menghaburkan biaya saja.

Belakangan kangker ganas itu semakin menjalar, sempat membuat mamah dirawat di rumah sakit selama 4 hari. Dokter berulang kali menyarankan agar mamah segera dioperasi, namun apa daya, biayanya belum mencukupi. Sedih rasaku menerima kenyataan ini.

Ajang lomba ini melecutku memaksimalkan bakat menulis, berharap keberuntungan berpihak padaku. Meraih hadiah Rp 35.000.000,00. Setidaknya memiliki harapan bisa bantu meringankan beban ayah atasi penyakit mamah. Sayangnya informasi lomba Menulis Cerpen ini sangat terlambat kuperoleh. Itu pun karena kebaikan Mas Dion Prasaja yang tanpa sengaja menemukan link tentang lomba itu di sebuah webside..

“Masih belum tidur, Fin..!?” tegur papah sambil melongokkan kepalanya di pintu kamarku yang sengaja tidak ditutup. Aku menoleh, melempar senyum ke arah papah yang wajahnya basah terbasuh whudu sebelum shalat malam.

“Belum pah, tanggung. Mood-nya lagi kencang nih.” Sahutku.

“Sudah shalat isya belum ?” Tanya papah.

“Alhamdulillah sudah pah.” Sahutku.

“Kalau sudah lelah dan mengantuk, tunda saja dulu menulisnya, nanti kamu lanjutkan lagi sepulang sekolah.” Pesan papah. “Ingat, pagi ini kamu harus sekolah. Nanti kamu tidur di kelas lagi.” Papah mengingatkanku sambil beranjak ke kamarnya.

Yah seharusnya memang segera kutunda saja pekerjaan ini. Tapi mau bagaiamana lagi, kebiasaan buruk otakku ini, kalau sedang ada idea bagus untuk menulis dan tidak tuntas, meski sudah berbaring di kasur empuk pun tidak akan bisa lelap tidur. Rangkaian kata terus memenuhi otak, meronta ingin segera dicurahkan menjadi kalimat dan paragraph hingga tuntas dan diakhir dengan kata “Selesai”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline