Ketidakadilan dalam harga produk dan layanan berdasarkan gender bukan hanya tentang efisiensi pasar, melainkan masalah sosial yang muncul akibat pengaruh gender dalam masyarakat. Dalam hal ini, isu Pink Tax menjadi perwujudan dari ketidakadilan tersebut, yang tidak hanya merugikan konsumen perempuan secara finansial, tetapi juga menunjukkan adanya pengabaian terhadap peran gender dalam perekonomian.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh New York City Department of Consumer Affairs menunjukkan bahwa terdapat perbedaan harga pada produk yang ditujukan untuk perempuan, misalnya pulpen berwarna pastel, pisau cukur berwarna merah muda, serta produk lainnya yang dijual 7% lebih mahal daripada produk sejenis yang ditujukan untuk laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa kesenjangan harga antara produk yang ditujukan untuk perempuan dan laki-laki masih terus berlangsung di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Dengan maraknya fenomena ini, perlu adanya kesadaran tentang isu Pink Tax di masyarakat.
Pink Tax adalah istilah yang mengacu pada situasi munculnya biaya tambahan yang dikenakan pada produk dan jasa yang sebenarnya identik, tetapi dipasarkan dengan cara berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Hal ini melibatkan penetapan harga berdasarkan gender dan dianggap sebagai bentuk diskriminasi harga. Menurut penelitian Habbal (2020), Pink Tax berasal dari prevalensi historis produk yang dipasarkan kepada perempuan yang cenderung berwarna merah muda.
Pink Tax dapat diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk pertama dengan adanya produk atau jasa tertentu yang dikenakan biaya tambahan dan bentuk kedua diwujudkan dengan perusahaan yang menjual produk kepada perempuan dengan harga lebih mahal daripada produk yang ditujukan untuk laki-laki. Pada bentuk yang kedua, perusahaan seringkali menjual produk untuk perempuan dengan harga yang lebih mahal untuk memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan tren pasar, preferensi, perilaku belanja, dan psikologi konsumen.
Berdasarkan kongres yang dilaksanakan oleh Joint Economic Committee & United States pada tahun 2016, produk khusus perempuan dikemas untuk pasar konsumen perempuan dengan identitas produk berwarna merah muda cenderung dua kali lebih tinggi harganya bila dibandingkan dengan produk laki-laki. Padahal, produk tersebut cenderung memiliki kualitas yang sama atau bahkan berkualitas tidak lebih baik daripada produk sejenis yang dikemas kepada produk unisex.
Munculnya perspektif mengenai Pink Tax merujuk pada anggapan bahwa perempuan terbiasa membayar lebih tinggi daripada laki-laki dan akibatnya perempuan menjadi kurang peka terhadap perubahan beban pajak. Penetapan harga yang lebih mahal oleh pedagang ini secara langsung merugikan daya beli perempuan. Kondisi ketidakadilan harga yang dikenakan pada produk-produk tertentu ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya oleh pengaruh peraturan atau ketetapan seperti perbedaan besarnya bea masuk.
Bea masuk sering dianggap diskriminatif karena perbedaan bea masuk antara jenis kelamin telah ada sejak pertengahan abad ke-19. Tarif pada barang impor seringkali bervariasi berdasarkan penunjukan jenis kelamin suatu produk. Lori Taylor, seorang direktur Mosbacher Institute di Texas A&M, mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan tarif impor pakaian berdasarkan jenis kelamin. Contohnya adalah tarif yang dikenakan pada sepatu kulit untuk perempuan sebesar 10%, sementara sepatu kulit untuk laki-laki hanya dikenakan tarif sebesar 8,5%.
Meskipun Pink Tax masih menjadi permasalahan umum di beberapa negara, ada beberapa langkah yang dapat diambil sebagai respons terhadap situasi ini. Mengutip dari sebuah laman statistik, data Forbes 2019 menunjukkan bahwa perempuan memengaruhi 85% persen dari pengeluaran konsumen. Hal seperti ini lah yang mendorong para produsen untuk mengeluarkan produk-produk yang bisa menarik perhatian disertai dengan harga yang lebih mahal, meningkatkan konsumsi perempuan, dan berakhir dengan fenomena perempuan mengeluarkan biaya lebih banyak. Oleh karena itu, untuk mencegah semakin maraknya fenomena ini, setiap konsumen, terutama konsumen perempuan, perlu sadar akan pentingnya sifat bijak dalam memilih sesuatu untuk dibeli.
Seiring berkembangnya zaman, penting bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memahami dan mendorong kesetaraan gender dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam dunia perekonomian. Seperti yang telah dibahas dalam artikel ini, kesetaraan gender bukan hanya tentang keadilan, melainkan juga suatu langkah penting dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan adanya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB atau SDG) yang kelima, yaitu gender equality. Penghapusan Pink Tax dapat menjadi langkah nyata dan penting menuju kesetaraan gender yang lebih baik. Upaya penghapusan praktik ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan produk dan layanan dengan harga yang adil. Hal ini tidak hanya akan memberikan kesejahteraan ekonomi bagi perempuan, tetapi juga mempromosikan inklusivitas dan keadilan di masyarakat secara lebih luas.
Penulis: Yunda Anjani
Ilustrator: Aalia Alyssa