The 17th ATV yang baru saja diselenggarakan bulan November kemarin mengusung "The Impact of IFRS 9 to Audit Approach in Banking Industry" sebagai tema utamanya. Dalam studi kasus pada ATV tahun ini diberikan dua sub tema yaitu "Audit on Management Assertion Regarding Classification & Measurement and Risk Management" dan "Audit on Hedge Accounting and Impairment of Financial Assets". Tema ini diangkat dengan tujuan untuk melatih pola pikir para peserta dalam menghadapi kasus-kasus audit yang sering terjadi di lapangan serta melatih profesionalisme peserta ketika dihadapkan dengan perubahan sistem audit mengikuti perubahan IFRS.
IFRS 9 merupakan salah satu standar pelaporan akuntansi yang menjadi pokok pembicaraan akhir-akhir ini. Hal ini tak lain karena waktu pengimplementasiannya yang semakin dekat dan dampak yang diberikan oleh IFRS 9 terhadap pelaporan keuangan berbagai instansi yang berkecimpung dalam instrumen keuangan. IFRS 9 mengatur tentang pengklasifikasian, pengakuan, dan pengukuran instrumen keuangan.
Dampaknya dirasa signifikan terutama bagi industri perbankan yang asetnya terdiri atas loan dan deposit. Standar ini akan mewajibkan bank untuk mengenali penurunan nilai aset lebih cepat dan memperkirakan kerugian yang diperkirakan pada masa mendatang terhadap spektrum aset yang lebih luas. Penerapan standar ini akan mulai diberlakukan pada bulan Januari 2018 secara luas dan diperkirakan akan meningkatkan ketentuan penurunan nilai kredit serta mempengaruhi perhitungan laba industri perbankan.
Pada dasarnya, auditor memiliki tujuan untuk memberikan opini berdasarkan hal-hal material dan biasanya audit lebih berfokus kepada aset dengan exposure yang lebih besar dan lebih berisiko. Dalam audit, terdapat dua jenis risiko, yaitu risiko inheren dan risiko kontrol. Risiko inheren (bawaan) adalah risiko yang akan terjadi tanpa kita memperhitungkan adanya kontrol internal, sementara risiko kontrol adalah risiko yang mungkin terjadi karena adanya salah saji atau kecurangan yang lolos dari kontrol internal. Industri perbankan memiliki risiko inheren yang sangat tinggi mengingat banyaknya kas dan aset yang dimiliki, sehingga dibutuhkan usaha yang lebih dalam mengaudit industri perbankan.
Ada beberapa prosedur yang dapat menguji kontrol internal dalam pengauditan industri perbankan. Tiga prosedur tes kontrol internal yang umum diketahui yaitu: test of control (mis. memeriksa profil dari kreditur dan debitur sebagai bentuk konfirmasi), substantive tests of transaction (mis. menentukan completeness, keakuratan, dan valid tidaknya data yang disajikan), serta melakukan verifikasi atas transaksi dan mendapatkan konfirmasi eksternal. Hal ini memang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan mengaudit industri lain, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh auditor industri perbankan.
Auditor harus senantiasa melihat sistem pencatatan oleh perbankan, asumsi-asumsi yang digunakan dengan informasi yang ada, serta struktur organisasi perusahaan yang berkaitan dengan otorisasi dan pengendalian. Mengetahui sistem operasional IT yang digunakan pun merupakan komponen penting karena IFRS 9 melihat struktur IT yang kuat. Dalam mengaudit berkaitan dengan klasifikasi aset dan hutang, auditor juga harus melihat kemampuan dan kecukupan dari perusahaan yang bersangkutan (kapabilitas).
Jika IFRS 9 diimplementasikan di tahun 2018, hal ini akan berdampak signifikan, karena akan banyak sekali laporan keuangan yang awalnya dinilai wajar menjadi tidak wajar ketika menggunakan IFRS 9 sebagai pedoman. Termasuk dalam dampak implementasi adalah akan terjadinya fluktuasi dari laba interim perusahaan.
Pengimplementasian IFRS 9 juga menimbulkan tantangan pada SDM dan pengetahuan dalam mengaplikasikannya. Selain itu, menyoroti dari sisi hukum, perbankan-perbankan kecil belum mampu menerapkan IFRS 9 di tahun 2018 karena prosedur yang terpaut panjang. Sebagai contoh adalah BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang asetnya tidak begitu besar. Jika IFRS 9 diimplementasikan secara paksa kepada BPR, hal ini tentu akan memberatkan BPR dilihat dari sumber daya manusia dan pengetahuan yang dimiliki. Seiring waktu, BPR harus mengembangkan pengetahuan sumber daya manusia yang dimiliki agar dapat menerapkan IFRS 9 dalam sistem keuangannya. Sementara ini, auditor juga sebaiknya tetap mengikuti sistem keuangan BPR dalam proses pengauditannya.
Auditor mungkin bukan ahli dalam semua industri yang diauditnya dan hal ini memungkinkan auditor meminta pendapat ahli dari berbagai industri spesifik. Meskipun kita dapat menggunakan jasa dari industri lain, dalam hal ini misalnya pakar industri perbankan, auditor tetap harus memiliki spesialisasi-spesialisasi tertentu agar tetap memiliki wawasan lebih dalam pekerjaan suatu pakar dari industri yang bersangkutan.