Lihat ke Halaman Asli

Merumuskan Kembali Gerakan Buruh, Oleh Nur Asiah

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Rakyat Bersatu, Tak Bisa Dikalahkan. Buruh Bersatu, Tak Bisa Dikalahkan.” Itulah yel-yel dan sorak-sorai yang setiap tahun dikumandangkan oleh para aktivis buruh di hari besar mereka, May Day.

Masih jelas dalam ingatan saya, pada tahun 2004, saat 1 Mei belum dijadikan sebagai hari libur nasional. Ketika itu, sepanjang Jalan Perintis Keerdekaan, Makassar, menuju Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, dipenuhi oleh para buruh yang bergerak dari Kawasan Industri Makassar (KIMA). Para buruh itu menuntut pemenuhan hak-hak mereka. Salah satu tuntutannya adalah menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Meski harus berhadap-hadapan dengan pihak perusahaan yang tetap mengharuskan mereka bekerja, namun aksi buruh tetap dilakukan. Bahkan, ancaman PHK tak menyurutkan semangat perlawanan mereka.

Namun, sorak-sorai itu mulai sayup-sayup terdengar. Justru ketika 1 Mei telah ditetapkan sebagai hari libur nasional. Ada apa dengan gerakan buruh masa kini? Apakah persoalan-persoalan buruh telah selesai? Ataukah para buruh mulai lelah dan kehilangan harapan akan mimpi kemenangan? Entahlah, yang pasti begitu banyak organisasi buruh di Makassar. Hanya saja, terasa sebagian kecil dari mereka yang bergerak pada 1 Mei. Itupun perwakilan dari organisasi buruh dapat dihitung jari. Bahkan, mereka cenderung membuat aksi sendiri-sendiri. Misalnya saja, persiapan hari buruh yang dilakukan oleh Gabungan Serikat Buruh Nusantara (GSBN), tak melibatkan organisasi buruh lain. Padahal, peringatan May Day itu, berdasarkan sejarahnya justru menghimpun seluruh organisasi buruh dalam satu gerakan. Karena mereka hendak memperjuangkan kepentingan yang sama, yakni pemenuhan hak-hak normatif dan peningkatan kesejahteraan buruh.

Mestinya, hari buruh ini menjadi momentum bagi para buruh untuk mengevaluasi capaian dari gerakan yang telah dibangun selama ini. Para buruh mesti duduk bersama merumuskan kembali bentuk gerakan, termasuk format aktivitasnya pada saat memperingati May Day. Bukankah kekuatan buruh ada pada soliditas dan solidaritasnya? Tapi, justru ini yang semakin tidak terlihat. Bisa jadi, organisasi buruh telah berafiliasi atau bahkan terkooptasi oleh kepentingan politik tertentu yang membuat mereka abai pada cita-cita ideal gerakan buruh. Bahkan kini muncul kecenderungan peringatan May Day tak ubahnya sebuah seremoni belaka. Ada mobilisasi massa, tapi massa yang sudah terkomodifikasi. Kita bisa lihat dalam kasus-kasus tertentu, massa yang hadir bukan karena mengusung cita-cita buruh, tapi karena kepentingan pragmatis, seperti jalan santai, lomba joget, sunatan massal dan kegiatan lain yang jauh dari semangat May Day. Buruh disuguhi kesenangan sesaat, setelah itu mereka kembali berkutat pada persoalan utamanya, tidak terpenuhinya hak-hak normatif dan kesejahteraan yang terabaikan.

Peringatan May Day seolah kehilangan ruhnya. Massa terlihat banyak, menyemut, tapi tak punya daya tawar dihadapan penguasa. Mengapa? Karena telah terkontaminasi oleh kepentingan elite politik yang disusupkan melalui para pemimpin organisasi buruh. Perjuangan secara kelembagaan direduksi menjadi hanya perjuangan kepentingan jangka pendek organisasi buruh tertentu. Misalnya, pada saat Pemilu atau Pemilukada. Pemimpin organisasi “menukar” jumlah anggotanya dengan kepentingan ekonomi pribadinya. Aksi-aksi buruh pada May Day, juga menjadi artifisial karena dilakukan ala kadarnya. Aksi-aksi yang dilakukan dalam durasi yang relatif lama, dengan orasi-orasi yang berbobot dan dialog-dialog yang berkelas, tergantikan oleh konvoi yang hanya membising tanpa mempunyai muatan pesan dalam rangka menggugat penguasa.

Karena itu, para buruh perlu kembali bersatu melakukan konsolidasi gerakan untuk memperjuangkan apa yang memang menjadi substansi dari peringatan May Day itu sendiri. Gerakan buruh juga harus menaruh perhatian pada isu-isu aktual, pada kepentingan-kepentingan spesifik dari kelompok-kelompok yang rentan, seperti akses kelompok disabilitas terhadap pekerjaan dan pemenuhan hak-hak bagi para buruh perempuan. Dua kelompok rentan ini sering tidak cukup mengemuka disuarakan pada peringatan May Day. Selama ini, kita hanya bicara pada isu buruh yang besar, para pekerja formal di pabrik-pabrik. Dengan mulai memperhatikan kelompok-kelompok rentan ini, maka akan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa persoalan buruh juga mencakup kelompok-kelompok rentan yang lain.

Selain itu, para buruh juga mesti menarik para pekerja non formal, yang jumlahnya cukup besar, namun belum dilibatkan dalam aksi May Day. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah buruh cuci, buruh tani, buruh bangunan dan para pekerja yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai buruh, tapi regulasi tidak mengakomodasinya sebagai buruh. Dengan begitu, May Day mestinya bukan hanya menjadi agenda para buruh pabrik yang bekerja di kawasan industri, tapi semua yang mendefinisikan dirinya sebagai buruh. Supaya May Day tidak terkesan sebagai sebuah gerakan yang eksklusif, hanya berputar pada kelompok buruh tertentu saja.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline