Rasa jenuh, bosan, ditambah malas mulai menghampiri saat sorot mata mengarah pada beberapa siswa kelas XII yang kurang peduli terhadap masa depannya. Semangat mengajar mulai redup, pikiran kusut dan kepala pening. Padahal, mereka adalah generasi emas yang akan melanjutkan kemajuan di Kabupaten Labuhanbatu. Kepala pening kuadrat melihat siswa yang pemalas, pikiran semakin sakit saat melihat siswa yang kurang gigih mengerjakan tugas-tugas, kurang peduli dengan ketidakhadiran di sekolah, dan kurang beretika. Melihat hal itu, semangat mengajar berkurang 25%. Namun, aku berjuang agar pikiran kembali sehat dan semangat. Aku teringat perkataan George Bernard Shaw, “Lupakan soal suka dan tidak suka. Keduanya bukan konsekuensi. Kerjakan apa yang harus dikerjakan mungkin itu bukan sesuatu yang membahagiakan. Namun, di situlah terletak kebesaran.” Perkataan ini membuat aku berkobar untuk menghilangkan rasa tidak suka ketika mengajar siswa yang malas.
Namun, perkataan George Bernard Shaw belum cukup kuat membangkitkan semangat mengajar dan menghilangkan pikiran kusut yang masih bertahta di kepala. Pikiran mulai mencari ide agar semangat mengajar kembali berkobar. Sejenak pikiran berpetualang, tak disangka di depan mata solusinya, yaitu minyak kayu putih aromatherapy. langsung kuoleskan minyak kayu putih aromatherapy green tea di leher dan tangan akibatnya badan lebih fresh, semangat mengajar mendekat, dan pikiran segar kembali. Aktivitas mengajar pun terasa indah meski banyak tantangan.
Masalah Siswa di Sekolah
Masalah siswa yang sering terjadi di sekolahku, yaitu beberapa siswa malas ke sekolah, cabut, lompat pagar, tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru, merokok, berjudi, menyimpan video porno, mengakses sesuatu yang negatif, mencuri handphone di ruang BP, mencuri uang, dan perkelahian yang sampai berurusan dengan orang tua dan kepolisian. Masalah-masalah tersebut akhirnya bisa diselesaikan oleh Guru BP di sekolahku, Ibu Mariani Simanjuntak. Beliau menanganinya dengan berkepala dingin. Terkadang hati kecewa, sedih, dan miris melihat siswa yang bermasalah di sekolah karena generasi tersebut lebih asyik dengan dunianya sampai mengabaikan masa depannya.
Aku teringat pada siswa yang bermasalah di kelas saat kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung. Kuamati beberapa siswa : malas dan kurang gigih mengerjakan tugas atau PR (Pekerjaan Rumah), cuek dengan kehadiran di sekolah, terkadang cabut pada mata pelajaran lain, kurang disiplin, mencontek saat ulangan harian atau ujian semester.
Kemudian pikiran kurang relax dan semangat mengajar surut di dalam diriku saat mengamati kondisi siswa yang lemah. Kuamati siswa yang bernama Ono. Dia duduk di kelas XII-IPA. Aku mengamatinya selama dua minggu di kelas ternyata dia kurang mampu menulis dengan benar. Misalnya, kata “kompensasi”, hilang dua huruf atau lebih saat ditulisnya. Herannya dia juga membaca masih kurang lancar. Teman-temannya di kelas juga mengetahui kekurangannya.
Salah seorang siswa bertanya, “Kenapa dia bisa naik ya, Bu?” Mendengar pertanyaannya aku terdiam. Aku juga heran melihat kondisinya. Kemudian, siswi perempuan menghampiriku, “Bu, dia takut bertemu dengan ibu. Karena, ibu suka mentes siswa dalam hal membuat tulisan dan membacakan tulisannya. Kalau ibu masuk kelas, dia selalu menunduk.” Aku semakin terdiam mendengar pengakuan siswiku. Kondisi Ono, kudiskusikan pada wali kelasnya dan beberapa guru. Mereka juga terkejut. Kemudian salah satu rekan kerjaku berkata, “Kita luluskan saja dia. Dia itu kelas tiga kalau kita turunkan di kelas dua kelak dia malu. Biarkan saja dia begitu.” Mendengar itu aku jadi bingung. Tapi, aku berusaha untuk membantu Ono. Tiap les ke- 6 sampai dengan les ke -7, dia terus menjumpaiku di perpustakaan. Kemudian aku memilih Sari, siswi cerdas, untuk membantuku mengajari Ono membaca dan menulis. Sari pun hampir menyerah, tapi dia tetap berusaha mengajarinya. Meski hasilnya kurang maksimal, kami berusaha membuat Ono bisa menulis.
Di kelas X7 aku juga menemukan siswa yang kurang mampu menulis. Kalau menulis kata “jembatan”, hilang dua huruf. Namanya Alto. Aku mengetahuinya saat temannya berlomba-lomba mengantar opini surat kabar Kompas, hanya dia yang tak bergerak. Dia asyik duduk manis di kursinya. Dua minggu kuamati Alto. Ternyata dia kurang bisa menulis. Ada beberapa siswa yang aku pilih untuk mengajarinya. Mereka langsung menyerah. Spontan salah satu siswa menjawab sambil menyentuh dahinya, “Lambat, bodoh orangnya, Bu. Pening kepala mengajarinya, Bu.” Aku tersenyum simpul. Hatiku menahan tawa ketika mendengar kata pening. Tugas untuk mengajari Alto, aku serahkan sama Lomo. Lomo pun bersedia dan penuh sabar mengajari Alto. Aku juga menyarankan Lomo agar sebangku dengan Alto.
“Gimana Lomo perkembangan Alto sekarang?” tanyaku.
“Sebenarnya Bu, Alto itu lemah daya tangkapnya Bu.” jawabnya penuh kehati-hatian. Akhirnya, Alto selalu aku tempatkan duduk di depan meja guru. Materi yang aku berikan sama Alto hanya menulis kosakata yang kubacakan. Aku berusaha mengajarinya. Pertemuan berikutnya dia tak masuk kelas. Kata teman-teman sekelasnya, dia tak datang ke sekolah karena orang tuanya mendapat surat panggilan dari wali kelasnya. Wali kelasnya juga menceritakan kondisinya pada orang tuanya. Sebenarnya aku juga merasa kasihan melihat kondisinya. Terkadang aku kesal melihatnya karena Alto kurang gigih berlatih menulis bahkan mau cabut dari kelas. Memikirkan kondisi Alto, terkadang muncul sakit kepala. Untuk mengatasi sakit kepala tersebut, aku selalu membawa minyak kayu putih aromatheraphy yang dapat menyegarkan pikiran. Khasiatnya begitu dahsyat sehingga seluruh badan dan pikiran segar kembali.
Selanjutnya, kutemukan siswi yang membaca dengan cara mengeja, menulis kosa kata terkadang hilang dua atau lebih hurufnya. Padahal, dia sudah kelas XII-IPA. Hatiku miris melihat kondisinya. Herannya dia yang paling tua di kelasnya. Dia bernama Asnah. Tiap pulang sekolah aku menugaskan dia membaca artikel dari Kompas. Temannya Asnah selalu memotivasinya agar tetap semangat untuk latihan membaca.