Akuu menyebutnya hutan kecil kami. Sejak 2007 lahan ini sudah kami beli. Membeli view indah menghadap matahari pagi dengan pemandangan Bukit Serelo, atau tanah yang murah di pinggiran kota kecil kami. Sebagian menyebutnya rumah di atas bukit. Luasnya kala itu 1.400 meter persegi lebih, menciut untuk jalan setapak warga ke kebun, diambil tetangga yang mengaku-aku, yah sudahlah. Toh kita mati juga cuma butuh sepetak kecil mengubur kita. Begitu kukatakan. Lebih kurang kini tinggal 1.000 meter persegi dan ada pondok rumah kecil berukuran 6 X 7 meter persegi tempat berteduh anak-anakku. Cukuplah bagi kami rumah sederhana ini.
Sejak dini aku sudah memisahkan sampah organik dan anorganik, sehingga saat tukang penggumpul barang bekas, bisa mereka ambil. Tapi jarang pula tukang barang bekas lewat, sehingga teronggok rapi di sudut rumah begitu saja.
Sesekali kubuat tungku memasak kayu pabila aku kangen suasana berkemah atau bermain dengan bocah lelaki kecil ini.
Sebelum wabah Covid 19 (C-19) merajalela, sebetulnya kami sudah lebih sering di rumah. Sayangnya pemanfaatan lahan tidak bisa maksimal. Tetangga yang menumpang bercocok tanam, rupanya kurang wawasan bercocok tanam. Benih tanaman yang kuberikan, tak ada yang beres ditanami, sekalipun itu tanaman singkong. Pohon-pohon besar yang kutanami juga tumbang ditangannya.
Hal itu yang membuatku tersenyum saja aku tak sanggup mengatakannya. Untungnya saat ini untuk mengusir kebosanan, aku kembali lagi memegang cangkul dan peralatan berkebun yang ternyata juga banyak yang hilang, karena tidak dikembalikan.
Hampir dua bulan menata ulang, menyelamatkan pohon-pohon besar, aku sangat menyukai pagi hari yang kunikmati, bersama kicau burung, suara serangga hutan, aneka kupu-kupu yang saat ini antara 5-10 jenis yang kulihat. Tupai dan kera hitam berekor panjang sering mengejutkanku.
Dahulu sepuluh tahun lalu masih kulihat Kukang, babi hutan, biawak dan beberapa ular. Jika ditanyakan, kengerian berjumpa hewan liar, kujawab tidak. Karena kesukaanku bermain di alam bebas.
Diam di rumah saja, bekerja di rumah saja, belajar di rumah saja membuat kami semua menggarapnya. Paling tidak amunisi bibit-bibit ini sudah menjadi modal kami.
Harapan dan doa kecil kami, bertumbuh subur dan bisa menolong tetangga yang saat ini membutuhkan uluran tangan. Mensuplai kebutuhan kecil kami, sudah cukup rasanya.
Skill of life bagi anak kami yang saat ini bersekolah di rumah saja akan menjadi banyak manfaat, tidak hanya mengusir kebosanan.
Sampah organik sudah lumayan menjadi humus bagi sebagian tanah kami yang tandus. Jika tetangga kami ada yang tertimpa longsor, untungnya kami punya pohon besar penahannya. Batuan alam cuma kami susun biasa menambah penguat beberapa sisi rumah.